1.
Perjuangan
Bersenjata Melawan Sekutu dan NICA
Dalam upaya
pengembalian pasukan Jepang di Asia Tenggra, Sekutu membentuk suatu badan
komando militer yang diberi nama South
East Asia Command (SEAC) di bawah pimpinan Lord Louis Mountbatten dari
Inggris. Untuk melaksanakan tugasnya di Indonesia, dibentuk suatu komando
khusus, yaitu Allied Forces for
Netherland Indies (AFNEI) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip
Christison.
Namun, sikap
berubah ketika diketahui bahwa pasukan AFNEI datang membawa orang-orang Netherlands Indies Civil Administration
(NICA).
Pasukan sekutu
yang tergabung dalam AFNEI dikirim ke Indonesia menjadi empat divisi, yaitu
sebagai berikut.
a. 23rd Indian Division,
di bawah pimpinan Mayor Jenderal D. C. Hawthorn, untuk daerah Jawa Barat.
b. 5th Indian Division, di
bawah pimpinan Mansergh, untuk wilayah Jawa Timur.
c. 26th Indian Division, di
bawah pimpinan Mayor Jenderal H. M. Chambers, untuk daerah Sumatra.
d. Untuk
pengamanan wilayah di luar Pulau Jawa, ditempatkan pasukan angkatan perang Australia.
Berikut
adalah pertempuran-pertempuran melawan Sekutu dan NICA.
a. Pertempuran
di Surabaya
Setelah
dilakukan pertemuan antara wakil-wakil Pemerintah RI dan Mallaby, dihasilkan kesepakatan-kesepakatan
diantara kedua belah pihak. Kesempatan tersebut antara lain sebagai berikut.
1) Inggris
berjanji bahwa di antara mereka tidak ada angkatan perang Belanda.
2) Disepakatinya
kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjaga keamanan dan ketenteraman.
3) Akan
segera dibentuknya kontak biro agar kerja sama dapat terlaksana dengan baik.
4) Inggris
berjanji hanya akan melucuti senjata Jepang saja.
Dalam
perkembangannya, ternyata Inggris mengingkari perjanjian yang telah
disepakati.Pada tanggal 26 Oktober 1945, satu peleton yang dipimpin oleh Kapten
Shaw melakukan penyergapan ke Penjara Kalisosok, Surabaya. Tujuan penyergapan
ini adalah untuk membebaskan seorang perwira angkatan laut Belanda yang bernama
Kolonel Huiyer.
Tewasnya
panglima Tentara Sekutu untuk Pulau Jawa, membuat tentara Sekutu marah besar.
Hal ini juga membuat Mayor Jenderal Mansergh, Panglima Tentara Sekutu wilayah
Jawa Timur mengeluarkan ultimatum itu pukul 06.00 tanggal 10 November 1945.
Adapun isi ultimatum tersebut adalah sebagai berikut.
1) Pihak
AFNEI menuntut balas atas kematian Brigjen Mallaby yang menjadi tanggung jawab
rakyat Surabaya.
2) Memerintahkan
kepada unsur pimpinan pemerintah, pemuda, keamanan, dan masyarakat untuk
melapor, menyerahkan senjata, meletakkan tangan di atas kepala dan
menandatangani penyerahan tanpa syarat kepada pasukan AFNEI.
Ultimatum ini
ternyata tidak ditanggapi oleh rakyat Surabaya. Akibatnya, pada tanggal 10
November 1945, tentara Sekutu menggempur Kota Surabaya secara habis-habisan dan
darat, laut, dan udara. Melihat hal ini,
arek-arek Surabaya tidak takut. Mereka bahkan melakukan perlawanan secara
pantang menyerah di bawah pimpinan Gubernur Suryo dan Bung Tomo.
b. Pertempuran
Ambarawa-Magelang
Peristiwa ini
dimulai ketika pasukan Sekutu yang dibonceng oleh NICA berusaha membebaskan
para tawanan Belanda. Pembebasan tersebut bertujuan untuk mengembalikan
kekuasaan Belanda di Indonesia. Pertempuran ini berlangsung dengan sangat
sengit. Atas kejadian ini, akhirnya Brigjen Beathel dan Presiden Soekarno
mengadakan perundingan yang dapat mengakhiri perang tersebut.
Kejadian ini berlangsung
pada tanggal 21 Oktober 1945. Adapun tujuan gerakan ini adalah untuk
membebaskan tawanan Belanda yang ada di Ambarawa.
Pasukan
Indonesia berhasil mengepung Kota Ambarawa dari empat sektor. Pada pertempuran
ini, Letkol Isdiman, Panglima Divisi Banyumas gugur dan digantikan oleh Kolonel
Sudirman untuk menyerang Sekutu di Ambarawa. Gencarnya penyerangan pasukan
Indonesia membuat Sekutu kewalahan dan akhirnya mundur dari Ambarawa pada
tanggal 21 November 1945. Pasukan Sekutu tersebut akhirnya bertahan di
Semarang.
c. Bandung
Lautan Api
Pasukan Sekutu
dan NICA tiba di Bandung pada pertengahan bulan Oktober 1945. Pertempuran demi
pertempuran di Kota Bandung terus bergejolak demi mempertahankan kedaulatan RI.
Sebagai upaya meredakan ketegangan,akhirnya Bandung dibagi menjadi dua, yaitu
Bandung Utara yang dikuasai oleh Sekutu dan Bandung Selatan yang dikuasai oleh
RI. Meskipun Indonesia telah mengosongkan wilayah Bandung Utara, Sekutu
menuntut pengosongan sejauh 11 km dari pusat kota paling lambat pada tengah malam
tanggal 24 Maret 1946.
Pada tanggal 24
Maret 1946, rakyat Bandung bersama TRI mulai mengosongkan Bandung Selatan.
Pembakaran diawali di Indisch Restaurant yang berada di utara alun-alun
(sekarang BRI Tower). Rakyat bersama TRI membakar bangunan-bangunan penting di
sekitar jalan kereta api dari Ujung Berung hingga Cimahi. Pada peristiwa
tersebut, Muhammad Toha gugur ketika meledakkan gudang mesiu NICA.
d. Pertempuran
Medan Area
Pasukan Sekutu
tiba di Sumatera Utara pada tanggal 9 November 1945. Pasukan ini dipimpin oleh
Brigjen T. E. D. Kelly. Seperti halnya di Surabaya, kedatangan Kelly ini
disertai juga dengan pasukan NICA. Pemerintah Sumatera Utara menyambut
kedatangan pasukan Sekutu dan mempersilahkan mereka untuk menempati beberapa
hotel di Medan seperti Hotel de Boer dan Hotel Astoria. Sebagian lagi
ditempatkan di Tanjung Morawa dan Binjai.
Keesokan
harinya, tim RAPWI (Relief of Allied
Prisoners of War and Interness) telah mengunjungi kamp-kamp tawanan yang
ada di Berayan, Rantau Perapat, Saentis, dan Brastagi untuk dibebaskan dan
dibawa ke Medan.
Bentrokan
pertama terjadi pada tanggal 13 Oktober 1945 di Jalan Bali, Medan. Akibatnya,
kemarahan para pemuda pun tidak bisa dibendung lagi.
Sementara itu,
pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuk TKR Sumatera Timur dibawah pimpinan
Achmad Tahir. Selain TKR, pada tanggal 15 Oktober 1945 terbentuk juga
badan-badan perjuangan menjadi Pemuda Republik Indonesia Sumatera Timur dan
kemudian berubah nama menjadi Pesindo. Kemudian lahir pula, laskar-laskar
partai seperti Nasional Pelopor Indonesia (Napindo) dari PNI, Barisan Merah
dari PKI, Hisbullah dari Masyumi, serta Pemuda Parkindo dari Parkindo.
Pada tanggal 18
Oktober 1945, Brigjen Kelly memberikan ultimatum agar para pemuda Medan
menyerahkan senjatanya kepada Sekutu. Keadaan semakin keruh ketika pada tanggal
1 Desember 1945 Inggris memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai
sudut kota. Pada tanggal 10 Desember 1945, pasukan Sekutu kembali memprovokasi
dengan berusaha menghancurkan konsentrasi TKR di Krepes. Usaha ini berhasil
digagalkan dan para pemuda berhasil menghancurkan beberapa truk dan menculik
seorang perwira Inggris.
e. Perjuangan
Bersenjata di Bali
Untuk memuluskan
pergerakannya, Sekutu berusaha membujuk Komandan Resimen Sunda Kecil, yaitu
Letkol I Gusti Ngurah Rai. Ajakan ini dikirimkan melalui surat oleh Kapten J.
B. T. Koning, Komandan Pasukan NICA untuk daerah Bali dan Lombok. Surat ini
dikirim pada tanggal 16 Mei 1946.
Ajakan dari
Belanda tersebut ditolak mentah-mentah oleh I Gusti Ngurah Rai. Bahkan, pada
tanggal 18 November 1946, beliau bersama pasukannya menyerang tangsi polisi
Belanda di Tabanan. Serangan ini berhasil mendapatkan banyak senjata dan
amunisi sekaligus telah menyulut kemarahan Sekutu.
Pada pertempuran
tanggal 20 November 1946 di desa Marga, Tabanan, I Gusti Ngurah Rai gugur di
medan perang namun, hal ini tidak mematahkan semangat pasukan Indonesia.
f.
Perjuangan Bersenjata di Sulawesi
Pada pertempuran
tanggal 28 Februari 1947, salah satu pimpinan perjuangan, yaitu Ranggong Daeng
Romo gugur. Selanjutnya Robert Wolter Mongisidi berhasil ditangkap oleh Belanda
dan akhirnya dihukum mati. Kejadian ini tidak mematahkan perlawanan, karena
tampuk pimpinan diteruskan oleh Mayor Andi Matalata.
Sementara itu,
di Sulawesi Utara, perlawanan dilakukan oleh para pemuda dan anggota KNIL
dengan cara membentuk Pasukan Pemuda Indonesia (PPI). Penyerbuan ini dilakukan
tanggal 14 Februari 1946. Dalam aksi ini mereka berhasil membebaskan tawanan
pejuang Indonesia. Selain itu, mereka mampu mengibarkan bendera Merah Putih.
Insiden ini kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Merah Putih di Manado.
Keberhasilan
selanjutnya adalah dikuasainya markas NICA di Tondano dan Tomohon. PPI
selanjutnya membentuk pemerintahan sipil dan sebagai residennya dipilih B. W.
Lapian. Untuk masalah keamanan, PPI membentuk TRI di bawah pimpinan Ch. Taulu,
Wuisan, dan J. K. Seger.
Gencarnya
perlawanan rakyat Sulawesi membuat NICA kewalahan. Hal ini mendorong Belanda
mengubah taktiknya. Taktik ini dicetuskan oleh seorang Kapten Belanda yang
bernama Raymond Westerling. Ia melakukan taktik pembersihan, yaitu dengan cara
membunuh rakyat Sulawesi Selatan yang dicurigai mendukung pejuang. Dalam kurun
waktu sebentar, sekitar 40.000 orang rakyat Sulawesi Selatan terbunuh.
No comments:
Post a Comment