Thursday 27 September 2018

3. Perjuangan Melawan Agresi Militer Belanda


3.     Perjuangan Melawan Agresi Militer Belanda
Setelah melewati pertempuran melawan sekutu dan NICA, rakyat Indonesia dihadapkan pada invasi Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Invasi ini mereka wujudkan dengan melancarkan Agresi Militer I (21 Juli 1947 – 5 Agustus 1947) dan Agresi Militer II (19-20 Desember 1948). Pada perkembangan selanjutnya, agresi tersebut akan menjadi bumerang bagi Belanda sendiri, karena bagaimanapun juga, sebuah agresi atau invasi tidak dibenarkan oleh hukum internasional. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari PBB dan Amerika Serikat yang memaksa kedua belah pihak terlibat dalam perundingan perundingan yang menentukan nasib bangsa.
a.      Agresi Militer Belanda I
Perundingan Linggarjati ternyata tidak bisa menyelesaikan konflik antara Indonesia dan Belanda. Kedua belah pihak mempunyai penafsiran yang berbeda-beda. Pihak Indonesia tetap berusaha mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya, sedangkan pihak Belanda tetap menginginkan agar wilayah Indonesia dikuasai oleh mereka lagi. Akibat perbedaan ini, pihak Belanda mengambil langkah cepat, yaitu mengadakan agresi militer ke Indonesia. Agresi militer Belanda dimulai pada tanggal 21 Juli 1947 jam 00.00. dalam waktu singkat, Belanda berhasil menerobos pertahanan TNI.
     Agresi Militer Belanda I mendapat kecaman keras dari seluruh dunia, termasuk PBB. Reaksi lainnya datang dari pemerintah India dan Australia yang mengajukan permintaan resmi kepada PBB agar pertikaian RI-Belanda dibahas dalam Dewan Keamanan PBB. Permintaan tersebut dikabulkan sehingga sejak saat itu masalah ini dimasukkan kedalam agenda Dewan Keamanan PBB.
     Pada sidang awal PBB tanggal 1 Agustus 1947, diputuskan agar pihak RI-Belanda mengatakan gencatan senjata dan maju ke meja perundingan. Keputusan ini ditindaklanjuti dengan dibentuknya komisi konsuler, untuk mengawasi jalannya gencatan senjata. Komisi ini anggota-anggotanya terdiri atas para konsul jenderal di wilayah Indonesia yang diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat, Dr. Walter Foote dengan beranggotakan Konsul Jenderal Tiongkok, Belgia, Prancis, Inggris, dan Australia. Komisi ini diperkuat oleh personel militer Amerika Serikat dan Prancis sebagai peninjau militer.
     Namun, dalam kenyataannya Belanda melanggar kesepakatan dengan terus memperluas wilayahnya. Batas terakhir perluasan wilayah yang berhasil dikuasai ditetapkan Belanda sebagai garis demarkasi, yaitu garis atas wilayah RI. Garis batas tersebut dikenal juga sebagai Garis van Mook. Berbagai pelanggaran ini kemudian dilaporkan oleh komisi konsuler kepada PBB.
     Menanggapi laporan tersebut, PBB memanggil kembali RI-Belanda untuk menyelesaikan pertikaiannya. Di dalam pertemuan, RI menolak secara tegas garis demarkasi yang dituntut Belanda. Pada pertemuan ini Amerika Serikat mengusulkan pembentukan Komisi Jasa-jasa Baik (Goodwill Commission). Usul tersebut disetujui oleh PBB. Tujuan utama komisi ini adalah membantu menyelesaikan pertikaian RI-Belanda. Untuk penetapan anggotanya diserahkan kepada masing-masing negara.
     Sebagai realisasi keputusan PBB, maka berdasarkan sidang kabinet RI tanggal 6 September 1947, Australia dipilih sebagai perwakilan Indonesia. Pihak Belanda memilih Belgia, sedangkan Australia dan Belgia memilih Amerika Serikat sebagai negara ketiga. Komisi ini terkenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri atas Richard Kerby (Australia), Panel van Zeeland (Belgia), dan Dr. Frank Graham (Amerika Serikat)
b.      Perundingan Renville
     Komisi Tiga Negara (KTN) tiba di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 1947 untuk melaksanakan misinya. Atas usul KTN , akhirnya dapat dilakukan perundingan lanjutan yang dilakukan diatas sebuah kapal milik Angkatan Laut Amerika Serikat, yaitu USS-Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta.
     Lahirnya perundingan Renville yang membuat pemerintah RI membentuk Panitia Istimewa di bawah pimpinan Dr. J. Leimena. Di pihak Belanda dibentuk Komisi Teknis yang dipimpin oleh van Vredenburgh. Pada perundingan awal terjadi kebuntuan, karena kedua belah pihak tetap pada pendiriannya. Untuk mengatasinya, KTN mengusulkan agar Perjanjian Linggarjati dijadikan dasar Perundingan Renville. Hal tersebut mendapat persetujuan kedua belah pihak.
     Perundingan Renville dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Dalam perundingan ini delegasi RI dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin, sedangkan pihak Belanda oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo (orang Indonesia yang memihak Belanda). Susunan anggota peserta perundingan yaitu sebagai berikut.
1)      Delegasi Indonesia terdiri atas Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, J. Leimena, Coa Tik len, dan Nasrun S.H.
2)      Delegasi Belanda, terdiri atas van Vredenburgh, P.J. Koets, dan Dr. Soumokil.
     KTN mengusulkan saran-saran yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Isi saran tersebut yaitu,
1)      Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak di sepanjang Garis van Mook.
2)      Penghentian tembak-menembak segera diikuti dengan peletakan senjata dan pembentukan daerah-daerah kosong militer (demilitarized zones).
3)      Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
4)      Kerja sama Indonesia-Belanda.
5)      Dibentuknya suatu negara federasi.
6)      Dibentuknya suatu Uni Indonesia-Serikat.
     Beberapa usulan KTN diterima kedua belah pihak, namun Belanda mengajukan 12 prinsip politik tambahan kepada Indonesia. Usulan tersebut disertai juga oleh ancaman bahwa usul tersebut merupakan usaha terakhir yang harus segera dijawab pihak RI dalam waktu 48 jam. Menanggapi usul tersebut, Indonesia menyatakan bahwa Belanda hanya mau menang sendiri.
     Ancaman tersebut dianggap berbahaya oleh KTN, maka Dr. Graham mengajukan 6 usulan tambahan. Usulan tambahan tersebut diantaranya RI harus mendapat jaminan bahwa wilayahnya tidak akan berkurang selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan kepada Negara Federasi Indonesia. Antara 6 bulan sampai 1 tahun setelah ditandatanganinya persetujuan politik akan diadakan plebisit di seluruh Indonesia di bawah pengawasan KTN dan batas waktu pelaksanaannya sampai 9 Jnuari 1948.
     Pada tanggal 17 Januari 1948, perjanjian Renville berhasil ditandatangani. Perjanjian ini berisi 3 dokumen, namun secara singkat isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.
1)      Penghentian tembak-menembak.
2)      Daerah-deaerah di belakang Garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI.
3)      Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya.
4)      Dalam Uni Indonesia-Belanda, Negara Indonesia Serikat akan sederajat dengan kerajaan Belanda.
     Hasil perundingan Renville sangat merugikan Indonesia. Hal tersebut terlihat dari lenyapnya pengakuan kedaulatan atas Jawa, Sumatra, dan Madura. Kecaman keras pun datang dari berbagai pihak terhadap gagalnya diplomasi Indonesia. Akibatnya, kekuasaan Amir Syarifuddin jatuh dan digantikan oleh Mohammad Hatta.
c.       Agresi Militer Belanda II
     Berbagai perundingan yang telah dilakukan RI-Belanda, ternyata tidak menyurutkan niat Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Berbagai gangguan keamanan terus diciptakan untuk memancing reaksi dan perlawanan rakyat Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1948, Belanda menembaki Gedung Proklamasi di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, menyerbu rumah sakit perguruan tinggi kedokteran RI, dan Jawatan Kesehatan Kota Jakarta.
     Pada tanggal 7 Desember 1948, Belanda mengultimatum RI yang harus dijawab tanggal 18 Desember 1948 hari Sabtu, pukul 10.00 WIB di Jakarta. Lewat pidato Dr. Beel, wakil tinggi mahkota Belanda pada tanggal 18 Desember 1948, Belanda mengatakan tidak terikat lagi atas hasil perundingan Renville.
     Tindak lanjut dari pernyataan Belanda tersebut adalah dibombardirnya lapangan terbang Maguwo (Bandara Adisucipto Yogyakarta) oleh pesawat-pesawat pembom Mitchel B-25 yang diikuti penerjunan satu batalion pasukan Baret Hijau. Kejadian ini berlangsung pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 05.00 WIB. Satu kompi AURI di bawah pimpinan Kadet Kasmiran yang berusaha mempertahankan tempat ini tidak mampu melakukannya, dan akhirnya mereka gugur.
     Selain Maguwo, Belanda pun menggempur kota Yogyakarta dan dalam waktu singkat mereka berhasil merebut kota tersebut. Para pemimpin Indonesia ditangkap seperti Presiden Sukarno, Drs. Moh. Hatta, dan beberapa pejabat tinggi negara lain. Pasca penangkapan, Presiden Sukarno diasingkan ke Prapat dan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta ke Pulau Bangka. Namun, sesaat sebelum Belanda datang, presiden telah mengirimkan radiogram yang berisi mandat kepada Syarifuddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran) untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
     Pimpinan pasukan Belanda dalam agresi ini adalah Jenderal Spoor. Tujuan agresi yakni untuk memusnahkan Republik Indonesia dengan cara menguasai ibukota RI dan menawan para pemimpinnya. Perkiraan Belanda ternyata meleset karena Angkatan Perang RI telah mengatur siasat dan kekuatan untuk menghadapi agresi tersebut. Perlawana TNI atas agresi militer Belanda dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman.
     Tindakan pertama yang dilaksanakan oleh Jenderal Sudirman adalah memberi perintah agar TNI meninggalkan kota dan menyusun kekuatan di luar kota. Perintah ini disampaikan oleh Kapten Supardjo kepada Presiden Sukarno dan menugaskan pula Kapten Suwondo menyampaikan perintah kilat ini kepada Angkatan Perang RI melalui siaran RRI. Isi surat intinya adalah sebagai berikut.
1)      Kita telah diserang.
2)      Pada tanggal 19 Desember 21948, Angkatan Perang Belanda menyerang Kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
3)      Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata.
4)      Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
d.      Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Agresi Militer Belanda II berhasil menguasai kota Yogyakarta. Hal ini membuat presiden dan anggota kabinet memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran, Syarifuddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatra untuk membentuk PDRI. Apabila perintah ini gagal dilaksanakan, maka Mr. A. A. Maramis, Dr. Sudarsono, dan L. N. Palar yang sedang berada di India diperintahkan untuk membentuk Pemerintahan Pelarian (Exile Government) di sana.
     Untuk mencegah rencana pemerintah RI, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerang Kota Bukittinggi. Hal ini membuat Mr. Syarifuddin Prawiranegara mengadakan pertemuan di Gedung Tri Arga. Rapat ini memutuskan pembentukan PDRI dipindahkan ke perkebunan teh Halaban (sebelah timur Payakumbuh). Susunan PDRI yang berhasil dibentuk, yaitu Mr. Syarifuddin sebagai ketua sekaligus Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri ad interim. Jabatan menteri luar negeri kemudian diserahkan kepada Mr. A. A. Maramis. Teuku Muhammad Hasan diangkat menjadi Wakil Ketua PDRI merangkap Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Untuk menghindari Belanda, maka markas PDRI selalu berpindah-pindah, mulai dari Sumpur Kudus, Lintau, Sawahlunto, dan Salibaru.
e.      Serangan Umum 1 Maret 1949
     Setelah Belanda menguasai Yogyakarta dan menangkap Sukarno-Hatta, pemerintah Belanda melakuak propaganda terhadap dunia internasional dengan menyebutkan bahwa pemerintah RI dan TNI sudah hancur. Untuk menunjukkan bahwa pemerintah dan TNI masih ada, maka TNI merencanakan serangan terhadap Kota Yogyakarta. Wilayah Yogyakarta berada di dalam operasi TNI Brigade 10 Wehrkreise II, di bawah Komandan Letnan Kolonel Suharto. Perencanaan perebutan Kota Yogyakarta oleh Brigade 10 mendapat dukungan penuh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
     Serangan terhadap Kota Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Letkol Suharto. Untuk memudahkan penyerangan, dibentuklah sektor-sektor , yang terdiri atas,
1)      Komandan Sektor Barat A adalah Letkol Suhud.
2)      Komandan Sektor Barat B adalah Mayor Vence Sumual.
3)      Komandan Sektor Selatan adalah Mayor Sarjono.
4)      Komandan Sektor Timur adalah Mayor Sujono.
5)      Komandan Sektor Utara adalah Mayor Kusno.
6)      Komandan Sektor kota ditunjuk Letnan Amir dan Letnan Marsudi.
Sesuai dengan rencana, pasukan TNI menyusup memasuki kota Yogyakarta. Pada pagi hari tanggal 1 Maret 1949 tepat pada pukul 06.00 sewaktu sirine Belanda berbunyi sebagai tanda berakhirnya jam malam, serangan pun diluncurkan ke seluruh kota. Pasukan TNI dalam waktu singkat berhasil menguasai kota. Tepat pukul 12.00, Letnan Kolonel Suharto memerintahkan pasukan-pasukannya untuk mengosongkan kembali Yogyakarta.
f.        Perundingan Roem-Royen
     Penderitaan rakyat Indonesia akibat Agresi Militer Belanda membangkitkan rasa simpati dan kesetiakawanan dari bangsa-bangsa di dunia. Beberapa diantaranya datang dari Myanmar dan India yang mendorong diselenggarakannya Konferensi Asia di New Delhi, India. Konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 20-23 Januari 1949 ini dihadiri pula oleh Australia dan beberapa negara di Afrika, dengan agenda tunggal, yaitu membahas Agresi Militer Belanda di Indonesia.
     Konferensi tersebut menghasilkan suatu resolusu yang isinya,
1)      Belanda harus mengembalikan pemerintahan RI ke Yogyakarta.
2)      Pembentukan pemerintahan ad interim yang mempunyai kemerdekaan politik luar negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949.
3)      Tentara Belanda harus ditarik dari seluruh wilayah RI.
4)      Penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia Serikat (RIS) paling lambat tanggal 1 Januari 1950.
     Selain itu, Myanmar mengusulkan pembentukan Tentara Sukarela Asia untuk membantu Indonesia. Delegasi Indonesia pada konferensi ini adalah A. A. Maramis, Mr. Utoyo, Dr. Sudarsono, dan Dr. Sumitro Joyohadikusumo.
     Resolusi tersebut disampaikan kepada PBB dan pada tanggal 24 Januari 1949 dibahas dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Dalam sidang ini, Amerika Serikat mengusulkan resolusi dan disetujui oleh peserta sidang. Adapun usul tersebut yaitu.
1)      Penghentian permusuhan.
2)      Pembebasan presiden RI dan para pemimpin RI yang ditawan pada tanggal 19 Desember 1948.
3)      Diperintahkan kepada KTN agar memberikan laporan lengkap tentang keadaan Indonesia sejak tanggal 19 Desember 1949.
Akhirnya pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusinya. Salahsatu isinya adalah mengubah KTN menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia = UNCI). Tugasnya yaitu untuk membantu kelancaran perundingan, mengurus pengembalian kekuasaan RI, mengamati pemilihan umum, dan berhak mengajukan usul untuk menyelesaikan konflik.
     Menindaklanjuti resolusi DK-PBB maka atas usaha UNCI, pada tanggal 14 April 1949 diselenggarakan perundingan di Jakarta. Perundingan yang diselengarakan di Hotel Des Indes ini dihadiri oleh wakil PBB, yaitu Merle Cochran sedangkan delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem dengan anggota Mr. Ali Sastroamijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, dan Mr. Latuharhary. Delegasi Belanda dipimpin oleh van Royen dan didampingi Mr. N. Bhom, Mr. A. Jacob, dan Dr. J. van Der Velde. Hasil perundingan ini antara lain menghentikan perang, kembalinya pemerintah RI ke  Yogyakarta, dan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar.
g.      Konferensi Inter-Indonesia
     Untuk mempersiapkan diri menghadapi Konferensi Meja Bundar, Indonesia melaksanakan Konferensi Inter-Indonesia (KII). Konferensi ini dilakukan antara RI dengan organisasi Negara-Ngara Bagian (BFO).
     KII berlangsung dua kali. Konferensi pertama diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 19-22 Juli 1949 yang dipimpin oleh Moh. Hatta dan yang kedua dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli – 2 Agustus 1949 di bawah pimpinan Sultan Hamid II.
     Secara umum, hasil Konferensi Inter-Indonesia antara lain,
1)      BFO mendukung tuntutan RI agar pengakuan kedaulatan dilaksanakan tanpa ada ikatan politik maupun ekonomi dengan Belanda.
2)      RI dan BFO membentuk komite persiapan dalam mengoordinasikan kegiatan sebelum dan setelah KMB berlangsung.
3)      Negara Indonesia Serikat (NIS) berganti nama menjadi Republik Indonesia Serikat.
4)      Bendera kebangsaan, bahasa nasional, dan hari nasional RIS adalah Merah Putih, Bahasa Indonesia, dan 17 Agustus.
5)      Angkatan Perang Indonesia Serikat (APRIS) adalah angkatan perang nasional yang berintikan kekuatan TNI.
h.      Konferensi Meja Bundar (KMB)
     Menindaklanjuti perjanjian Roem-Royen, maka diselenggarakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi ini diselenggarakan di Ridderzae (Bangsal Ksatria), Den Haag, Belanda yang dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1949.
     Sebagai persiapan ke konferensi tersebut, pada tanggal 4 Agustus 1949 ditetapkanlah delegasi Indonesia yang terdiri atas Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Mr. Supomo, Dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamijoyo, Ir. Juanda, Dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T.B. Simatupang, dan MR. Sumardi.
     Sesuai dengan rencana awal, pada tanggal 23 Agustus 1949, KMB diselenggarakan. Adapun delegasi yang terlibat antara lain:
1)      Republik Indonesia diketuai oleh Mohammad Hatta;
2)      BFO diketuai Sultan Hamid II;
3)      Kerajaan Belanda diketuai J.H. van Maarseveen;
4)      UNCI diketuai oleh Merle Cochran sebagai mediator dalam perundingan.
Perundingan berjalan alot, namun akhirnya pada tanggal 2 November 1949 tercapailah kesepakatan. Isi kesepakatan tersebut yaitu.
1)      Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia secara penuh dan tanpa syarat kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
2)      Pelaksanaan penyerahan kedaulatan akan dilaksanakan paling lambat 30 Desember 1949.
3)      Masalah Irian Barat ditunda dan akan diadakan perundingan lagi dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan kepada RIS.
4)      Status RIS dengan kerajaan Belanda terikat dalam suatu Uni Indonesia-Belanda yang dikepalai Ratu Belanda.
5)      Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dan beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS.
     Tentara Belanda akan ditarik dari Indonesia dan akan dilakukan pembubaran tentara KNIL yang kemudian akan digabungkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
     Hasil KMB kemudian diratifikasi oleh KNIP pada tanggal 14 Desember 1949, dan diratifikasi oleh Parlemen Belanda pada tanggal 21 Desember 1949. Untuk melaksanakan hasil keputusan KMB, Indonesia mengambil beberapa langkah sebagai berikut.
1)      Pembentukan RIS yang mencakup 16 negara bagian yang tegabung dalam BFO dan negara bagian RI.
2)      Pada tanggal 17 Desember 1949, diadakan pelantikan Presiden RIS, yaitu Ir. Sukarno.
3)      Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri RIS.
4)      Dibentuk DPR RIS dengen ketua R. M. Sartono.
     Setelah alat-alat kelengkapan negara selesai dibentuk, pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan serah terima kedaulatan dari pemerintah kerajaan Belanda kepada RIS. Kegiatan yang dilaksanakan di Amsterdam ini dilakukan dalam suasana upacara resmi yang dipimpin oleh Ratu Belanda, Juliana kepada wakil RIS Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang bersamaan, di Jakarta dilakukan penandatanganan serah terima kedaulatan oleh Sri Sultan Hamnegku Buwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.S. Lovink.

No comments:

Post a Comment

contoh surat jual beli tanah

SURAT JUAL BELI MUTLAK TANAH SAWAH Yang bertanda tangan di bawah ini masing-masing bernama Odah, tempat di kampung  ......... Rt 02...