3.
Perjuangan Melawan Agresi Militer
Belanda
Setelah melewati pertempuran melawan sekutu dan NICA, rakyat Indonesia
dihadapkan pada invasi Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Invasi ini
mereka wujudkan dengan melancarkan Agresi Militer I (21 Juli 1947 – 5 Agustus
1947) dan Agresi Militer II (19-20 Desember 1948). Pada perkembangan
selanjutnya, agresi tersebut akan menjadi bumerang bagi Belanda sendiri, karena
bagaimanapun juga, sebuah agresi atau invasi tidak dibenarkan oleh hukum
internasional. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari PBB dan Amerika Serikat
yang memaksa kedua belah pihak terlibat dalam perundingan perundingan yang
menentukan nasib bangsa.
a.
Agresi Militer Belanda I
Perundingan Linggarjati ternyata tidak bisa menyelesaikan konflik antara
Indonesia dan Belanda. Kedua belah pihak mempunyai penafsiran yang
berbeda-beda. Pihak Indonesia tetap berusaha mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatannya, sedangkan pihak Belanda tetap menginginkan agar wilayah
Indonesia dikuasai oleh mereka lagi. Akibat perbedaan ini, pihak Belanda
mengambil langkah cepat, yaitu mengadakan agresi militer ke Indonesia. Agresi
militer Belanda dimulai pada tanggal 21 Juli 1947 jam 00.00. dalam waktu
singkat, Belanda berhasil menerobos pertahanan TNI.
Agresi Militer Belanda I
mendapat kecaman keras dari seluruh dunia, termasuk PBB. Reaksi lainnya datang
dari pemerintah India dan Australia yang mengajukan permintaan resmi kepada PBB
agar pertikaian RI-Belanda dibahas dalam Dewan Keamanan PBB. Permintaan
tersebut dikabulkan sehingga sejak saat itu masalah ini dimasukkan kedalam
agenda Dewan Keamanan PBB.
Pada sidang awal PBB tanggal 1
Agustus 1947, diputuskan agar pihak RI-Belanda mengatakan gencatan senjata dan
maju ke meja perundingan. Keputusan ini ditindaklanjuti dengan dibentuknya
komisi konsuler, untuk mengawasi jalannya gencatan senjata. Komisi ini
anggota-anggotanya terdiri atas para konsul jenderal di wilayah Indonesia yang
diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat, Dr. Walter Foote dengan
beranggotakan Konsul Jenderal Tiongkok, Belgia, Prancis, Inggris, dan
Australia. Komisi ini diperkuat oleh personel militer Amerika Serikat dan
Prancis sebagai peninjau militer.
Namun, dalam kenyataannya
Belanda melanggar kesepakatan dengan terus memperluas wilayahnya. Batas
terakhir perluasan wilayah yang berhasil dikuasai ditetapkan Belanda sebagai
garis demarkasi, yaitu garis atas wilayah RI. Garis batas tersebut dikenal juga
sebagai Garis van Mook. Berbagai pelanggaran ini kemudian dilaporkan oleh
komisi konsuler kepada PBB.
Menanggapi laporan tersebut,
PBB memanggil kembali RI-Belanda untuk menyelesaikan pertikaiannya. Di dalam
pertemuan, RI menolak secara tegas garis demarkasi yang dituntut Belanda. Pada
pertemuan ini Amerika Serikat mengusulkan pembentukan Komisi Jasa-jasa Baik
(Goodwill Commission). Usul tersebut disetujui oleh PBB. Tujuan utama komisi
ini adalah membantu menyelesaikan pertikaian RI-Belanda. Untuk penetapan
anggotanya diserahkan kepada masing-masing negara.
Sebagai realisasi keputusan PBB,
maka berdasarkan sidang kabinet RI tanggal 6 September 1947, Australia dipilih
sebagai perwakilan Indonesia. Pihak Belanda memilih Belgia, sedangkan Australia
dan Belgia memilih Amerika Serikat sebagai negara ketiga. Komisi ini terkenal
dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri atas Richard Kerby
(Australia), Panel van Zeeland (Belgia), dan Dr. Frank Graham (Amerika Serikat)
b.
Perundingan Renville
Komisi Tiga Negara (KTN) tiba
di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 1947 untuk melaksanakan misinya. Atas usul
KTN , akhirnya dapat dilakukan perundingan lanjutan yang dilakukan diatas
sebuah kapal milik Angkatan Laut Amerika Serikat, yaitu USS-Renville yang
sedang berlabuh di Teluk Jakarta.
Lahirnya perundingan Renville
yang membuat pemerintah RI membentuk Panitia Istimewa di bawah pimpinan Dr. J.
Leimena. Di pihak Belanda dibentuk Komisi Teknis yang dipimpin oleh van
Vredenburgh. Pada perundingan awal terjadi kebuntuan, karena kedua belah pihak
tetap pada pendiriannya. Untuk mengatasinya, KTN mengusulkan agar Perjanjian
Linggarjati dijadikan dasar Perundingan Renville. Hal tersebut mendapat
persetujuan kedua belah pihak.
Perundingan Renville dimulai
pada tanggal 8 Desember 1947. Dalam perundingan ini delegasi RI dipimpin oleh
Perdana Menteri Amir Syarifuddin, sedangkan pihak Belanda oleh R. Abdul Kadir
Wijoyoatmojo (orang Indonesia yang memihak Belanda). Susunan anggota peserta
perundingan yaitu sebagai berikut.
1) Delegasi Indonesia terdiri atas Ali
Sastroamijoyo, H. Agus Salim, J. Leimena, Coa Tik len, dan Nasrun S.H.
2) Delegasi Belanda, terdiri atas van
Vredenburgh, P.J. Koets, dan Dr. Soumokil.
KTN mengusulkan saran-saran yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak. Isi saran tersebut yaitu,
1) Segera dikeluarkan perintah
penghentian tembak-menembak di sepanjang Garis van Mook.
2) Penghentian tembak-menembak segera
diikuti dengan peletakan senjata dan pembentukan daerah-daerah kosong militer
(demilitarized zones).
3) Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
4) Kerja sama Indonesia-Belanda.
5) Dibentuknya suatu negara federasi.
6) Dibentuknya suatu Uni
Indonesia-Serikat.
Beberapa usulan KTN diterima kedua belah
pihak, namun Belanda mengajukan 12 prinsip politik tambahan kepada Indonesia.
Usulan tersebut disertai juga oleh ancaman bahwa usul tersebut merupakan usaha
terakhir yang harus segera dijawab pihak RI dalam waktu 48 jam. Menanggapi usul
tersebut, Indonesia menyatakan bahwa Belanda hanya mau menang sendiri.
Ancaman tersebut dianggap berbahaya oleh
KTN, maka Dr. Graham mengajukan 6 usulan tambahan. Usulan tambahan tersebut
diantaranya RI harus mendapat jaminan bahwa wilayahnya tidak akan berkurang
selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan kepada Negara Federasi
Indonesia. Antara 6 bulan sampai 1 tahun setelah ditandatanganinya persetujuan
politik akan diadakan plebisit di seluruh Indonesia di bawah pengawasan KTN dan
batas waktu pelaksanaannya sampai 9 Jnuari 1948.
Pada tanggal 17 Januari 1948, perjanjian
Renville berhasil ditandatangani. Perjanjian ini berisi 3 dokumen, namun secara
singkat isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.
1) Penghentian tembak-menembak.
2) Daerah-deaerah di belakang Garis van
Mook harus dikosongkan dari pasukan RI.
3) Belanda bebas membentuk negara-negara
federal di daerah-daerah yang didudukinya.
4) Dalam Uni Indonesia-Belanda, Negara
Indonesia Serikat akan sederajat dengan kerajaan Belanda.
Hasil perundingan Renville sangat
merugikan Indonesia. Hal tersebut terlihat dari lenyapnya pengakuan kedaulatan
atas Jawa, Sumatra, dan Madura. Kecaman keras pun datang dari berbagai pihak
terhadap gagalnya diplomasi Indonesia. Akibatnya, kekuasaan Amir Syarifuddin
jatuh dan digantikan oleh Mohammad Hatta.
c.
Agresi Militer Belanda II
Berbagai perundingan yang
telah dilakukan RI-Belanda, ternyata tidak menyurutkan niat Belanda untuk
kembali menjajah Indonesia. Berbagai gangguan keamanan terus diciptakan untuk
memancing reaksi dan perlawanan rakyat Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1948,
Belanda menembaki Gedung Proklamasi di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, menyerbu
rumah sakit perguruan tinggi kedokteran RI, dan Jawatan Kesehatan Kota Jakarta.
Pada tanggal 7 Desember 1948,
Belanda mengultimatum RI yang harus dijawab tanggal 18 Desember 1948 hari
Sabtu, pukul 10.00 WIB di Jakarta. Lewat pidato Dr. Beel, wakil tinggi mahkota
Belanda pada tanggal 18 Desember 1948, Belanda mengatakan tidak terikat lagi
atas hasil perundingan Renville.
Tindak lanjut dari pernyataan
Belanda tersebut adalah dibombardirnya lapangan terbang Maguwo (Bandara
Adisucipto Yogyakarta) oleh pesawat-pesawat pembom Mitchel B-25 yang diikuti
penerjunan satu batalion pasukan Baret Hijau. Kejadian ini berlangsung pada
tanggal 19 Desember 1948 pukul 05.00 WIB. Satu kompi AURI di bawah pimpinan
Kadet Kasmiran yang berusaha mempertahankan tempat ini tidak mampu
melakukannya, dan akhirnya mereka gugur.
Selain Maguwo, Belanda pun
menggempur kota Yogyakarta dan dalam waktu singkat mereka berhasil merebut kota
tersebut. Para pemimpin Indonesia ditangkap seperti Presiden Sukarno, Drs. Moh.
Hatta, dan beberapa pejabat tinggi negara lain. Pasca penangkapan, Presiden Sukarno
diasingkan ke Prapat dan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta ke Pulau Bangka. Namun,
sesaat sebelum Belanda datang, presiden telah mengirimkan radiogram yang berisi
mandat kepada Syarifuddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran) untuk membentuk
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Pimpinan pasukan Belanda dalam
agresi ini adalah Jenderal Spoor. Tujuan agresi yakni untuk memusnahkan
Republik Indonesia dengan cara menguasai ibukota RI dan menawan para
pemimpinnya. Perkiraan Belanda ternyata meleset karena Angkatan Perang RI telah
mengatur siasat dan kekuatan untuk menghadapi agresi tersebut. Perlawana TNI
atas agresi militer Belanda dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Tindakan pertama yang
dilaksanakan oleh Jenderal Sudirman adalah memberi perintah agar TNI
meninggalkan kota dan menyusun kekuatan di luar kota. Perintah ini disampaikan
oleh Kapten Supardjo kepada Presiden Sukarno dan menugaskan pula Kapten Suwondo
menyampaikan perintah kilat ini kepada Angkatan Perang RI melalui siaran RRI.
Isi surat intinya adalah sebagai berikut.
1) Kita telah diserang.
2) Pada tanggal 19 Desember 21948,
Angkatan Perang Belanda menyerang Kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
3) Pemerintah Belanda telah membatalkan
persetujuan gencatan senjata.
4) Semua Angkatan Perang menjalankan
rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
d.
Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI)
Agresi Militer Belanda II berhasil menguasai kota Yogyakarta. Hal ini
membuat presiden dan anggota kabinet memberikan mandat kepada Menteri
Kemakmuran, Syarifuddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatra untuk
membentuk PDRI. Apabila perintah ini gagal dilaksanakan, maka Mr. A. A.
Maramis, Dr. Sudarsono, dan L. N. Palar yang sedang berada di India
diperintahkan untuk membentuk Pemerintahan Pelarian (Exile Government) di sana.
Untuk mencegah rencana
pemerintah RI, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerang Kota
Bukittinggi. Hal ini membuat Mr. Syarifuddin Prawiranegara mengadakan pertemuan
di Gedung Tri Arga. Rapat ini memutuskan pembentukan PDRI dipindahkan ke
perkebunan teh Halaban (sebelah timur Payakumbuh). Susunan PDRI yang berhasil
dibentuk, yaitu Mr. Syarifuddin sebagai ketua sekaligus Menteri Pertahanan,
Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri ad interim. Jabatan menteri luar
negeri kemudian diserahkan kepada Mr. A. A. Maramis. Teuku Muhammad Hasan
diangkat menjadi Wakil Ketua PDRI merangkap Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Agama. Untuk menghindari Belanda, maka markas PDRI selalu berpindah-pindah,
mulai dari Sumpur Kudus, Lintau, Sawahlunto, dan Salibaru.
e.
Serangan Umum 1 Maret 1949
Setelah Belanda menguasai
Yogyakarta dan menangkap Sukarno-Hatta, pemerintah Belanda melakuak propaganda
terhadap dunia internasional dengan menyebutkan bahwa pemerintah RI dan TNI
sudah hancur. Untuk menunjukkan bahwa pemerintah dan TNI masih ada, maka TNI
merencanakan serangan terhadap Kota Yogyakarta. Wilayah Yogyakarta berada di
dalam operasi TNI Brigade 10 Wehrkreise II, di bawah Komandan Letnan Kolonel
Suharto. Perencanaan perebutan Kota Yogyakarta oleh Brigade 10 mendapat
dukungan penuh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Serangan terhadap Kota Yogyakarta
dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949, di bawah pimpinan Letkol Suharto. Untuk
memudahkan penyerangan, dibentuklah sektor-sektor , yang terdiri atas,
1) Komandan Sektor Barat A adalah Letkol
Suhud.
2) Komandan Sektor Barat B adalah Mayor
Vence Sumual.
3) Komandan Sektor Selatan adalah Mayor
Sarjono.
4) Komandan Sektor Timur adalah Mayor
Sujono.
5) Komandan Sektor Utara adalah Mayor
Kusno.
6) Komandan Sektor kota ditunjuk Letnan
Amir dan Letnan Marsudi.
Sesuai dengan rencana, pasukan TNI menyusup memasuki kota
Yogyakarta. Pada pagi hari tanggal 1 Maret 1949 tepat pada pukul 06.00 sewaktu
sirine Belanda berbunyi sebagai tanda berakhirnya jam malam, serangan pun
diluncurkan ke seluruh kota. Pasukan TNI dalam waktu singkat berhasil menguasai
kota. Tepat pukul 12.00, Letnan Kolonel Suharto memerintahkan
pasukan-pasukannya untuk mengosongkan kembali Yogyakarta.
f.
Perundingan Roem-Royen
Penderitaan rakyat Indonesia
akibat Agresi Militer Belanda membangkitkan rasa simpati dan kesetiakawanan
dari bangsa-bangsa di dunia. Beberapa diantaranya datang dari Myanmar dan India
yang mendorong diselenggarakannya Konferensi Asia di New Delhi, India.
Konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 20-23 Januari 1949 ini dihadiri
pula oleh Australia dan beberapa negara di Afrika, dengan agenda tunggal, yaitu
membahas Agresi Militer Belanda di Indonesia.
Konferensi tersebut
menghasilkan suatu resolusu yang isinya,
1) Belanda harus mengembalikan
pemerintahan RI ke Yogyakarta.
2) Pembentukan pemerintahan ad interim
yang mempunyai kemerdekaan politik luar negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949.
3) Tentara Belanda harus ditarik dari
seluruh wilayah RI.
4) Penyerahan kedaulatan kepada
pemerintah Indonesia Serikat (RIS) paling lambat tanggal 1 Januari 1950.
Selain itu,
Myanmar mengusulkan pembentukan Tentara Sukarela Asia untuk membantu Indonesia.
Delegasi Indonesia pada konferensi ini adalah A. A. Maramis, Mr. Utoyo, Dr.
Sudarsono, dan Dr. Sumitro Joyohadikusumo.
Resolusi tersebut
disampaikan kepada PBB dan pada tanggal 24 Januari 1949 dibahas dalam sidang
Dewan Keamanan PBB. Dalam sidang ini, Amerika Serikat mengusulkan resolusi dan
disetujui oleh peserta sidang. Adapun usul tersebut yaitu.
1) Penghentian permusuhan.
2) Pembebasan presiden RI dan para pemimpin
RI yang ditawan pada tanggal 19 Desember 1948.
3) Diperintahkan kepada KTN agar
memberikan laporan lengkap tentang keadaan Indonesia sejak tanggal 19 Desember
1949.
Akhirnya pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan resolusinya. Salahsatu isinya adalah mengubah KTN menjadi Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for
Indonesia = UNCI). Tugasnya yaitu untuk membantu kelancaran perundingan,
mengurus pengembalian kekuasaan RI, mengamati pemilihan umum, dan berhak
mengajukan usul untuk menyelesaikan konflik.
Menindaklanjuti
resolusi DK-PBB maka atas usaha UNCI, pada tanggal 14 April 1949
diselenggarakan perundingan di Jakarta. Perundingan yang diselengarakan di
Hotel Des Indes ini dihadiri oleh wakil PBB, yaitu Merle Cochran sedangkan
delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem dengan anggota Mr. Ali
Sastroamijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, dan Mr. Latuharhary.
Delegasi Belanda dipimpin oleh van Royen dan didampingi Mr. N. Bhom, Mr. A.
Jacob, dan Dr. J. van Der Velde. Hasil perundingan ini antara lain menghentikan
perang, kembalinya pemerintah RI ke
Yogyakarta, dan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar.
g.
Konferensi Inter-Indonesia
Untuk mempersiapkan diri
menghadapi Konferensi Meja Bundar, Indonesia melaksanakan Konferensi
Inter-Indonesia (KII). Konferensi ini dilakukan antara RI dengan organisasi
Negara-Ngara Bagian (BFO).
KII berlangsung dua kali.
Konferensi pertama diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 19-22 Juli 1949 yang
dipimpin oleh Moh. Hatta dan yang kedua dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 30
Juli – 2 Agustus 1949 di bawah pimpinan Sultan Hamid II.
Secara umum, hasil Konferensi
Inter-Indonesia antara lain,
1) BFO mendukung tuntutan RI agar
pengakuan kedaulatan dilaksanakan tanpa ada ikatan politik maupun ekonomi
dengan Belanda.
2) RI dan BFO membentuk komite persiapan
dalam mengoordinasikan kegiatan sebelum dan setelah KMB berlangsung.
3) Negara Indonesia Serikat (NIS)
berganti nama menjadi Republik Indonesia Serikat.
4) Bendera kebangsaan, bahasa nasional,
dan hari nasional RIS adalah Merah Putih, Bahasa Indonesia, dan 17 Agustus.
5) Angkatan Perang Indonesia Serikat
(APRIS) adalah angkatan perang nasional yang berintikan kekuatan TNI.
h.
Konferensi Meja Bundar (KMB)
Menindaklanjuti perjanjian
Roem-Royen, maka diselenggarakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi
ini diselenggarakan di Ridderzae (Bangsal Ksatria), Den Haag, Belanda yang
dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 1949.
Sebagai persiapan ke
konferensi tersebut, pada tanggal 4 Agustus 1949 ditetapkanlah delegasi Indonesia
yang terdiri atas Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Mr. Supomo, Dr. J.
Leimena, Mr. Ali Sastroamijoyo, Ir. Juanda, Dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto,
Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T.B.
Simatupang, dan MR. Sumardi.
Sesuai dengan rencana awal,
pada tanggal 23 Agustus 1949, KMB diselenggarakan. Adapun delegasi yang
terlibat antara lain:
1) Republik Indonesia diketuai oleh
Mohammad Hatta;
2) BFO diketuai Sultan Hamid II;
3) Kerajaan Belanda diketuai J.H. van Maarseveen;
4) UNCI diketuai oleh Merle Cochran
sebagai mediator dalam perundingan.
Perundingan berjalan alot, namun akhirnya pada tanggal 2
November 1949 tercapailah kesepakatan. Isi kesepakatan tersebut yaitu.
1) Kerajaan Belanda menyerahkan
kedaulatan Indonesia secara penuh dan tanpa syarat kepada Republik Indonesia
Serikat (RIS).
2) Pelaksanaan penyerahan kedaulatan
akan dilaksanakan paling lambat 30 Desember 1949.
3) Masalah Irian Barat ditunda dan akan
diadakan perundingan lagi dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan
kepada RIS.
4) Status RIS dengan kerajaan Belanda
terikat dalam suatu Uni Indonesia-Belanda yang dikepalai Ratu Belanda.
5) Kapal-kapal perang Belanda akan
ditarik dari Indonesia dan beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS.
Tentara Belanda
akan ditarik dari Indonesia dan akan dilakukan pembubaran tentara KNIL yang
kemudian akan digabungkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat
(APRIS).
Hasil KMB kemudian
diratifikasi oleh KNIP pada tanggal 14 Desember 1949, dan diratifikasi oleh
Parlemen Belanda pada tanggal 21 Desember 1949. Untuk melaksanakan hasil
keputusan KMB, Indonesia mengambil beberapa langkah sebagai berikut.
1) Pembentukan RIS yang mencakup 16
negara bagian yang tegabung dalam BFO dan negara bagian RI.
2) Pada tanggal 17 Desember 1949,
diadakan pelantikan Presiden RIS, yaitu Ir. Sukarno.
3) Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai
Perdana Menteri RIS.
4) Dibentuk DPR RIS dengen ketua R. M.
Sartono.
Setelah alat-alat
kelengkapan negara selesai dibentuk, pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan
serah terima kedaulatan dari pemerintah kerajaan Belanda kepada RIS. Kegiatan
yang dilaksanakan di Amsterdam ini dilakukan dalam suasana upacara resmi yang
dipimpin oleh Ratu Belanda, Juliana kepada wakil RIS Drs. Moh. Hatta. Pada waktu
yang bersamaan, di Jakarta dilakukan penandatanganan serah terima kedaulatan
oleh Sri Sultan Hamnegku Buwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.S.
Lovink.
No comments:
Post a Comment