Kemelut di Majapahit
(Nida Urohman)
Ketika
sang mentari datang lahirlah seorang Raja Majapahit pertama yang mempunyai
kepribadian bak seorang yang sangat berwibawa, beliau bernama Raden Wijaya yang
diberi gelar Kertarajasa Jayawardhana. Sang Prabu sangatlahbaik beliau tidak
seperti kacang lupa pada kulitnya, beliau tidak melupakan jasa-jasa para senopati(perwira)
yang selalu setia dan membantunya sehingga ia membagi-bagikan pangkat kepada
mereka, Ronggo Lawe diamgkat menjadi adipati di Tuban dan yang lain-lain pun
diberi pangkat.
Awal
retaknya hubungan ketika Sang Prabu menikah kembali dengan istri kelima,
seorang putri dari Melayu. Sebelumnya Sang Prabu telah menikah dengan keempat
putri mendiang Raja Kertanegara. Hali ini dilakukan agar nanti tidak akan ada
dendam dan perebutan kekuasaannya kelak.
Keempatorang
putri itu adalah Dyah Tribunan yang menjadi permaisuri, yang kedua adalah Dyah
Nara Indraduhita, ketiga adalah Dyah Jaya Inderadewi dan yang keempat disebut
Retno Sutawan atau Rajapatni yang berarti “terkasih” karena memang putri bungsu
dari mendiang Kertanegara ini menjadi istri yang paling dikasihinya. Dyah
Gayatri putri bungsu dari Raja Kertanegara memang cantik jelita bagaikan seorang
dewi kahyangan, terkenal di seluruh negeri dan kecantikannya selau dipuja-puja
oleh para sastrawan di masa itu. Akan tetapi, beberapa tahun lalu Sang Prabu
Kertanegara mengutus pasukan yang diberi nama pasukan Pamalayu ke negeri
Melayu. Pasukan ini dipimpin oleh seorang senopati perkasa bernama Kebo
Anabrang atau juga Mahisa Anabrang yang berarti “Menyebrang” karena mengingat
akan tugasnya yang akan menyebrang ke negeri Melayu. Pasukan ini berhasil
membawa pulang dua orang putri bersaudara. Putri yang kedua yaitu bernama Dara
Petak, Sang Prabu Kertarajasa terpikat hatinya oleh kecantikan Dara Petak yang
bak bidadari, maka diambilah Dyah Dara Petak menjadi istrinya yang kelima. Dan
ternyata Dara petak menjadi saingan paling kuat diantara istri-istri lain
terutama untuk Dyah Gayatri. Karena memang Dara Petak sangat cantik jelita dan
pandai membawa diri. Sang Prabu sangat mencintai istri mudanya ini, setelah
menjadi istrinya Dara Petak kemudian diberi nama Sri Indraswari.
Terjadilah
persaingan diantara para istri ini, tetapi persaingan ini dilakukan secara
diam-diam tanpa sepengetahuan Sang Parabu Kertarajasa, persaingan ini dilakukan
hanya untuk merebutkan cinta kasih dan perhatian Sri Baginda yang jika
mendapatkannya akan mengangkat derajat dan kekuasaan masing-masing. Sang Prabu
kurang menyadari akan persaingan ini, akan tetapi para senopati mengetahui
persaingan ini mulailah terjadi perpecahandiam-diam diantara mereka karena ada
yang condong kepada Dyah Gayatri keturunan mendiang Sang Prabu Kertanegara, dan
ada juga yang condong kepada Dara Petakketurunan Melayu.
Tentu saja
Ronggo Lawe berpihak kepada Dyah Gayatri yang selalu setia sejak zaman Prabu
Kertanegara. Namun karena segan kepada Sang Prabu Kertanegara yang bijaksana,
persaingan dan kebencian itu tidak sampai menjadi permusuhan terbuka. Dikira
tidak akan ada lagi hal-hal yang lebih hebatsesudah masuknya Dara Petak ke
dalam kehidupan Sang Prabu, yang akan membakar hati Ronggo Lawe yaitu
pengangkatan patih Hamangkubumi, yaitu Patih Kerajaan Majapahit. Yang diangkat
oleh Sang Prabu menjadi yang tertinggi bak bintang dilangit dan paling berkuasa
seperti raja yaitu senopati Nambi.
Pengangkatan
Nambi menjadi patih ini memang banyak terpengaruh oleh bujukan Dara Pettak.
Ketika mendengar pengangkatan patih ini, Adipati Ronggo Lawe sedang makan yang
dilayani oleh kedua istrinya yang setia, yaitu Dewi Mertorogo dan Tirtowati.
Mendengar berita itu dari seorang penyelidik yang datang menghadap kepadanya.
Adipati ronggo Lawe marah bukan main, nasi yang sedang dimakannya langsung
dibanting keatas lantai, karena marahnya itu Ronggo Lawe sampai menggunakan aji
kedigdayaannya yang membuat meja bunyi berkerotak dan ujung meja yang
diremasnya itu hancur.
“Kakangmas
adipati….Harap paduka tenang….” Dewi Mertorogo menghibur suaminya.“Ingatlah,
kakangmas adipati….sungguh merupakan hal yang kurang baik mengembalikan berkah
ibu pertiwi secara itu….” Tirtowati juga memperingatkan karena melempar nasi ke
atas lantai seperti itu penghinaan terhadap Dewi Sri dan dapat menjadi kualat.
Akan tetapi, Adipati Ronggo Lawe bangkit dan tidak mendengarkan pepatah
istrinya itu. Kemudian ia beangkat dengan kuda kesayangannya itu yang bernama
Mego Lamat ke Mojopahit.
Pada waktu
itu, sang prabu sedang dihadap oleh para senopati dan punggawa. Kawan-kawan
seperjuangan Ronggo Lawe terkejut melihat Ronggo Lawe menghadap raja tanpa
dipanggil. Sang prabu mengusir ketidaksenangan hatinya dan segera menyapa
Ronggo Lawe . Ronngo Lawe berkata dengan suara lantang bahwa ia tidak terima
dengan keputusan sang prabu atas pengangkatan Nambi menjadi seorang patih.
Semua
senopati dan pembesar yang saat itu menghadap sang prabu dan mendengar
ucapan-ucapan Ronggo Lawe, semua terkejut dan sebagian besar marah sekali,
tetapi mereka tidak berani mencampuri karena mereka menghormat kepada sang
prabu. Sang prabu tetap tenang dan bahkan keputusannya itu sudah
dipertimbangkan masak-masak, bahkan telah mendapatkan persetujuan dari paman
dan kakang senopati dan semua pembantunya. Akan tetapi Ronggo Lawe masih tetap
ngotot tidak setuju dengan keputusan sang Prabu Kertarajasa. Bahkan sampai
menyebut bahwa Nambi itu bodoh, lemah, rendah budi, penakut, sama sekali tidak
memiliki wibawa.
Akhirnya
sang prabu mempertimbangkan kembali atas ucapan-ucapan Ronggo Lawe, dan beliau masih
tetap sama bahwa Nambi akan menjadi patih. Akan tetapi ketika sang prabu
mengetahui niat jahat Dara Petak dan Nambi maka diangkatlah Ronggo Lawe menjadi
patih dan menggantikan Senopati Nambi. Dara Petak dan Nambi pun dihukum atas
perbuatannya yang sudah keterlaluan, mereka diberi hukuman penjara seumur
hidup. Setelah beberapa tahun kerajaan Majapahit menjadi lebih jaya,
warga-warga pun tentram dan damai.
Sebutkan unsur intrinsik dan nilai kehidupan pada kutipan novel sejarah di atas
ReplyDelete