Nama : Elsa Riana Deti
Kelas : XII IPS 1
Kemelut di Majapahit
(S.H. Mintardja)
Setelah Raden
Wijaya berhasil menjadi Raja Majapahit pertama bergelar Kertarajasa
Jayawardhana, beliau tidak melupakan jasa-jasa para senopati (perwira) yang
setia dan banyak membantunya semenjak dahulu itu membagi-bagikan pangkat kepada
mereka. Ronggo Lawe diangkat menjadi adipati di Tuban dan yang lain-lain pun
diberi pangkat pula. Dan hubungan antara junjungan ini dengan para pembantunya,
sejak perjuangan pertama sampai Raden Wijaya menjadi raja, amatlah erat dan
baik.
Akan
tetapi, guncangan pertama yang memengaruhi hubungan ini adalah ketika Sang
Prabu telah menikah dengan empat putri mendiang Raja Kertanegara.
Keempat
orang putri itu adalah Dyah Tribunan yang menjadi permaisuri, yang kedua adalah
Dyah Nara Indraduhita, ketiga adalah Dyah Jaya Inderadewi, dan yang juga
disebut Retno Sutawanan atau Rajapatni yang berarti “terkasih”, Dyah Gayatri
yang bungsu ini memang cantik jelita seperti seorang dewi kahyangan, terkenal
di seluruh negeri dan kecantikannya dipuja-puja oleh para sastrawan di masa
itu.
Datanglah
pasukan yang beberapa tahun lalu diutus oleh mendiang Sang Prabu Kertanegara ke
negeri Malayu. Pasukan ini dinamakan pasukan Pamalayu yang dipimpin oleh
seorang senopati perkasa bernama Kebo Anabrang atau juga Mahisa Anabrang,
pasukan ekspedisi yang berhasil baik ini membawa pulang pula dua orang putri
bersaudara. Putri yang kedua, yaitu yang muda bernama Dara Petak, Sang Prabu
Kertarajasa terpikat hatinya oleh kecantikan sang putri ini, maka diambillah
Dyah Dara Petak menjadi istrinya yang kelima. Sang Prabu sangat mencintai istri
termuda ini yang setelah diperisteri oleh Sang Baginda, lalu diberi nama Sri
Indraswari.
Terjadilah
persaingan diantara para istri ini, yang tentu saja dilakukan secara diam-diam
namun cukup seru, persaingan dalam memperebutkan cinta kasih dan perhatian Sri
Baginda yang tentu saja akan mengangkat derajat dan kekuasaan masing-masing.
Tentu
saja Ronggo Lawe, sebagai seorang yang amat setia sejak zaman Prabu
Kertanegara, berpihak kepada Dyah Gayatri. Kiranya tidak ada terjadi hal-hal
yang lebih hebat sebagai akibat masuknya Dara Petak ke dalam kehidupan Sang
Prabu, sekiranya tidak terjadi hal yang membakar hati Ronggo Lawe, yaitu
pengangkatan patih hamangkubumi, yaitu Patih Kerajaan Majapahit. Yang diangkat
oleh Sang Prabu menjadi pembesar yang tertinggi dan paling berkuasa sesudah
raja yaitu Senopati Nambi.
Mendengar
akan pengangkatan patih ini, merahlah muka Adipati Ronggo Lawe. Ketika mendengar
berita ini dia sedang makan, seperti biasa dilayani oleh kedua orang istrinya
yang setia, yaitu Dewi Mertorogo dan Tirtowati. Mendengar berita itu dari
seorang penyelidik yang datang menghadap pada waktu sang adipati sedang makan,
Ronggo Lawe marah bukan main. Nasi yang sudah dikepalnya itu dibanting ke atas
lantai dan karena dalam kemarahan tadi sang adipati menggunakan aji
kedigdayaannya, maka nasi sekepal itu amblas ke dalam lantai. Kemudian
terdengar bunyi berkerotok dan ujung meja diremasnya menjadi hancur.
Di
dalam kemarahan dan kekecewaan, Adipati Ronggo Lawe masih ingat untuk
menghaturkan sembahnya, tetapi setelah semua salam tata susila ini selesai,
serta merta Ronggo Lawe menyembah dan berkata dengan suara lantang, “Hamba
sengaja datang menghadap Paduka untuk mengingatkan Paduka dari kekhilafan yang
paduka lakukan di luar kesadaran Paduka!” Sang Prabu sendiri memandang dengan
mata penuh perhatian, kemudian dengan suara tenang bertanya, “Kakang Ronggo
Lawe, apakah maksudmu dengan ucapan itu?”
“Yang
hamba maksudkan tidak lain adalah pengangkatan Nambi sebagai pepatih paduka!
Keputusan yang paduka ambil ini sungguh-sungguh tidak tepat, tidak bijaksana
dan hamba yakin bahwa paduka tentu telah terbujuk dan dipengaruhi oleh suara
dari belakang! Pengangkatan Nambi sebagai patih hamangkubumi sungguh merupakan
kekeliruan yang besar sekali, tidak tepat dan tidak adil, padahal Paduka
terkenal sebagai seorang Maharaja yang arif bijaksana dan adil!”
Pendeknya,
semua senopati dan pembesar yang saat itu menghadap Sang Prabu dan mendengar
ucapan-ucapan Ronggo Lawe, semua terkejut dan sebagian besar marah sekali,
tetapi mereka tidak berani mencampuri karena menghormat Sang Prabu. Akan
tetapi, Sang Prabu Kertarajasa tetap tenang, bahkan tersenyum memandang kepada
Ronggo Lawe, ponggawanya yang dia tahu amat setia kepadanya itu, lalu berkata
halus, “Kakang Ronggo Lawe, tindakanku mengangkat kakang Nambi sebagai patih
hamangkubumi, bukanlah merupakan tindakan ngawur belaka, melainkan telah
merupakan suatu keputusan yang telah dipertimbangkan masak-masak, bahkan telah
mendapatkan persetujuan dari semua paman dan kakang senopati dan semua
pembantuku. Bagaimana Kakang Ronggo Lawe dapat mengatakan bahwa pengangkatan
itu tidak tepat dan tidak adil?” Dengan muka merah, kumisnya yang seperti kumis
Sang Gatotkaca itu bergetar, napas memburu karena desakan amarah, Ronggo Lawe
berkata lantang, “Tentu saja tidak tepat! Paduka sendiri tahu siapa si Nambi
itu! Paduka tentu masih ingat akan segala sepak terjang dan tindak-tanduknya
dahulu! Dia seorang bodoh, lemah, rendah budi, penakut, sama sekali tidak
memiliki wibawa!”
Raden
Wijaya tidak menghiraukan perkataan Ronggo Lawe, akhirnya Ronggo Lawe pun
pulang ke Tuban. Nambi merasa sakit hati dengan perkataan-perkataan yang diucapkan
Ronggo Lawe tadi. Akhirnya Nambi membuat rencana akan memberontak Ronggo Lawe,
pertempuran pun terjadi antara Ronggo Lawe dan Nambi, kemenangan pun berpihak
kepada Nambi.
Setelah
peristiwa tersebut, akhirnya Nambilah yang menjadi Patih dan Ronggo Lawe pun
meninggal. Kerajaan pun aman dan damai.
No comments:
Post a Comment