Kemelut di Majapahit
(Ayu Siti Nurajijah,
XII MIPA 4)
Pada zaman dahulu sekitar tahun
1293- 1500 M berdiri sebuah kerajaan di Mojokerto, Jawa timur yaitu Kerajaan
Majapahit yang di pimpin oleh Raden Wijaya, beliau diangkat menjadi Raja
Majapahit pertama bergelar Kertajasa Jayawardhana. Beliau selalu ditemani oleh para senopati
(perwira) yang setia, dan banyak membantunya sehingga beliau tidak melupakan
jasa-jasa mereka. Sebagai balasannya beliau membagi-bagikan pangkat kepada
mereka.
Diantaranya ada Ronggo Lawe yang diangkat menjadi Adipati di Tuban, dan yang lain-lain pun
diberi pangkat pula. Hubungan antara junjungan ini dengan para pembantunya
sejak perjuangan pertama sampai Raden Wijaya menjadi raja, amatlah sangat erat
dan baik. Namun hubungan mereka sempat tergoncang ketika Sang Prabu menikah
dengan empat putri mendiang Raja Kertanegara, lalu menikah dengan seorang putri
Malayu.
Sang Prabu menikahi empat putri mendiang Raja karena
dia tidak ingin ada rasa dendam dan
perebutan kekuasaan kelak. Ke empat orang putri ini adalah Dyah Tribunan yang
menjadi permaisuri, yang kedua adalah Dyah Nara Indraduhita, ketiga adalah Dyah
Jaya Indradewi, dan yang disebut Retno Sutawan atau Raja Patni yang berarti
“terikasih” karena memang puteri bungsu ini sangat dikasihinya, Dyah Gayatri
yang bungsu ini memang cantik jelita, dan di puja-puja oleh para sastrawan pada
masa itu.
Pada tahun lalu datanglah pasukan yang diutus oleh mendiang Sang Prabu
Kertanegara ke Negeri Melayu. Pasukan ini dipimpin oleh seorang senopati perkasa
bernama Kebo Anabrang atau Mahisa Anabrang. Pasukan ekspedisi ini berhasil
membawa pulang dua orang puteri bersaudara. Sang Prabu terpikat oleh puteri
keduanya yang bernama Dara Petak,karena kecantikannya lalu ia jadikan istri
kelima. Munculah persaingan antara putri-putri raja , Dara Petak menjadi
saingan yang paling kuat dari Dyah Gayatri karena Dara Petak memang cantik
jelita dan pandai membawa diri. Sang Prabu sangat mencintai istri termuda ini
yang telah di peristeri oleh Sang Baginda, lalu diberi nama Sri Indraswari.
Terjadilah persaingan di antara istri ini, tentu
saja dilakukan secara diam-diam namun cukup seru, persaingan dalam memperebutkan cinta kasih dan perhatian
Sri Baginda. Namun Sang Prabu kurang menyadarinya pengaruh persaingan ini
sangat terasa oleh para senopati dan mulailah perpecahan diam-diam diantara
mereka karena ada yang berpihak kepada Dyah Gayatri dan kepada Dara Petak.
Ronggo Lawe berpihak kepada
Dyah Gayatri ia amat setia sejak zaman Prabu Kertajasa yang bijaksana, persaingan
dan kebencian ini dilakukan secara
diam-diam itu tidak sampai menjadi permusuhan
terbuka. Lalu, ada suatu hal yang membakar hati Ronggo Lawe yaitu
pengangkatan Patih Hamangkubumi yaitu Patih kerajaan Majapahit , yang diangkat
Sang Prabu menjadi pembesar yang tertinggi dan paling berkuasa sesudah raja
yaitu Senopati Nambi.
Didalam kemarahan dan
kekecewaan Adiapati Ronggo Lawe masih ingat untuk menghancurkan sembahnya,
tetapi setelah semua salam sisila ini selesai serta merta Ronggo Lawe menyembah
dan berkata dengan suara lantang, “
Hamba sengaja datang menghadap Paduka untuk mengingatkan Paduka dari kekhilafan
yang Paduka lakukan diluar kesadaran Paduka!” Sang Prabu sendiri memandang
dengan mata penuh perhatian, kemudian dengan suara tenang, beliau bertanya “
Kakang Ronngo Lawe apakah maksudmu dengan ucapan itu?”
“Yang Hamba maksud tidak lain adalah pengangkatan
Nambi sebagai Patih Paduka! Keputusan yang Paduka ambil ini sungguh-sungguh
tidak tepat, tidak bijaksana, dan Hamba yakin bahwa Paduka sudah terbujuk
Hamangkubumi, sungguh merupakan kekeliruan yang besar sekali, tidak tepat dan
tidak adil. Padahal Paduka terkenal sebagai seorang Maharaja yang arif
bijaksana dan adil!”. Hebat bukan main ucapan
Ronggo Lawe ini! Seoarang adipati, tanpa dipanggil, berani datang menghadap
Sang Prabu dan melontarkan teguran-teguran seperti itu!Sang Prabu tetap tenang
bahkan tersenyum memandang kepada Ronggo Lawe, lalu berkata halus ”Kakang
Ronggo Lawe, tindakanku mengangkat Kakang Nambi sebagai Patih Hamangkubumi
bukanlah merupakan tindakan ngawur belaka, melainkan telah dipertimbangkan masak-masak
bahkan telah mendapat persetujuan dari semua pembantuku, karena desakan amarah Ronggo Lawe berkata lantang, Tentu saja tidak
tepat! Paduka sendiri tahu siapa si Nambi itu! Paduka tentu masih ingat akan
segala sepak terjang dan
tindak-tanduknya dahulu! Dia seorang bodoh, penakut, rendah budi, sama sekali
tidak berwibawa.
Raden Wijaya tidak menghiraukan perkataan Ronggo
Lawe, akhirnya Ronggo Lawe pun pulang ke Tuban. Nambi merasa sakit hati dengan
perkataan-perkataan yang diucapkan Ronggo Lawe tadi. Akhirnya Nambi membuat rencana
akan memberontak Ronggo Lawe, pertempuran pun terjadi antara Ronggo Lawe dan
Nambi, kemenangan pun berpihak kepada
Nambi.
Setelah peristiwa tersebut, akhirnya Nambilah yang
menjadi Patih dan Ronggo Lawe pun meninggal. Kerajaan pun aman dan damai.
No comments:
Post a Comment