Thursday 27 September 2018

Kemelut di Majapahit (Syifa Silfiani)


Kemelut di Majapahit
(Syifa Silfiani)
Raden Wijaya berhasil menjadi Raja Majapahit pertama pada tanggal 15 bulan Kastika tahun 1215 Saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293 yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Meskipun beliau telah menjadi raja, beliau tidak menjadi seorang yang bagikan kacang lupa kulitnya. Dia mengangkat Ronggo Lawe menjadi Adipati Tuban dan membagikan pangkat kepada para senopati (perwira) lain yang telah setia dan banyak membantunya sejak perjuangan pertama sampai Raden Wijaya menjadi raja.
Karena Sang Prabu sangat bijaksana sampai-sampai dia menikahi empat orang putri sekaligus yaitu putri dari mendiang Raja Kertanegara. Sang Prabu ibarat mendapat durian runtuh saat itu menjadi raja dan mendapat rezeki menikahi empat orang putri. Keempat orang putri itu adalah Dyah Tribunan yang menjadi permaisuri, yang kedua ialah Dyah Nara Indraduhita, ketiga adalah Dyah Jaya Indreradewi, dan juga yang disebut Retno Sutawan atau Rajapatni yang berari “terkasih” karena memang putri bungsu dari mendiang Kertanegara menjadi istrii yang paling dikasihinya, Dyah Gayatri yang bungsu ini memang cantik jelita seperti seorang dewi kahyangan, terkenal di seluruh negeri dan kecantikannya dipuja-puja oleh sastrawan di masa itu.
Akan tetapi, ketika Raja Siang keluar dari ufuk timur datanglah pasukan yang beberapa tahun lalu diutus oleh mendiang Sang Prabu Kertanegara ke Negeri Melayu. Pasukan ini dinamakan pasukan Pamalayu yang dipimpin oleh seorang senopati perkasa bernama Kebo Anabrang atau juga Mahira Anabrang, nama yang diberikan oleh sang prabu mengingat akan tugasnya menyebrang (anabrang) ke negeri Melayu. Tidak sia-sia mereka menyebrang ke negeri Melayu mereka membuahkan hasil, mereka membawa dua orang putri bersaudara dari Negeri Melayu. Putri yang kedua yaitu yang muda bernama Dara Petak. “Begitu cantik rupa Dara Petak, bagaikan mekar pesonanya menyihir kumbang-kumbang lelaki di sekitarnya. Sehingga hatiku terpikat olehnya dan ingin segera menikahinya.” Sang prabu yang terus menatap Dara Petak. Maka diambilah Dyah Dara Petak menjadi isti yang kelima.
Terjadilah persaingan diantara para istri, Dara Petak menjadi saingan yang paling kuat Dyah Gayatri, karena rupa Dara Petak ynag memang cantik jelita dan pandai membawa diri. Mereka pun diam-diam bersaing dalam memperebutkan cinta kasih dan perhatian Sri Baginda yang tentu saja akan mengangkat derajat dan kekuasaan masing-masing. Sang Prabu kurang menyadari akan persaingan istri-istrinya, pengaruh persaingan itu terasa benar oleh para senopati dan mulailah terjadi perpecahan diam-diam diantara mereka sebagai pihak yang bercondong kepada Dyah gayatri keturunan mendiang Sang Prabu Kertanegara, dan kepada Dara Petak keturunana Melayu.
Tentu saja Ronggo Lawe sebagai seorang yang amat setia sejak zaman prabu Kertanegara, berpihak kepada Dyah Gayatri. Namun, karena segan kepada Sang Prabu Kertarajasa yang bijaksana persaingan dan kebencian yang dilakukan secara diam-diam itu tidak sampai menjalar menjadi permusuhan terbuka. Kiranya tidak ada terjadi hal-hal yang lebih besar sebagai akibat dari masuknya Dara Petak kedalam kehidupan Sang Prabu. Hati Ronggo Lawe terbakar karena pengangkatan Hamangkubumi, yaitu patih kerajaan Majapahit . Dia diangkat oleh Sang Prabu menjadi pembesar tertinggi dan paling berkuasa sesudah raja yaitu Senopati Nambi.
Pengangkatan ini memang dipengaruhi bujuk rayu Dara Petak. Ketika mendengar berita ini Ronggo Lawe yang saat itu sedang makan yang dilayani oleh kedua istrinya yang setia itu Dewi Mertorogo dan Tirtawati. Ronggo Lawe mendengar berita itu dari seorang penyelidik yang datang menghadap pada waktu sang adipati sedang makan. Ronggo Lawe marah bukan main. Nasinya yang sudah dikepalnya itu dibanting ke atas lantai dan karena dalam kemarahan tadi, sang adipati menggunakan aji kedigdayannya maka nasi sekepal itu amblas ke dalam lantai. Kemudian terdengar bunyi berkerotakdan ujung meja diremasnya menjadi hancur.
“Kakangmas adipati….harap paduka tenang….” Dewi Mertorogo menghibur suaminya. “Ingatlah kakangmas adipati, sungguh merupakan hal yang kurang baik mengembalikan berkah Ibu Pertiwi secara itu.” Tirtawati juga memperingatkan suaminya. Akan tetapi. Adipati Ronggo Lawe bangkit berdiri, membiarkan kedua tangannya dicuci oleh kedua orang istrinya yang berusaha menghiburnya. “Aku harus pergi sekarang juga!” katanya. “Pengawal lekas suruh persiapkan si Mego Lamat di depan! Aku akan berangkat ke Mojopahit sekarang juga!” Mego Lamat satu diantara kuda-kuda kesayangan Adipati Ronggo Lawe. Seekor kuda yang amat indah dan kuat, warna bulunya abu-abu muda. Kedua istrinya berusaha mencegah Ronggo Lawe tetapi cegahan  kedua istrinya sama sekali tidak didengarkan oleh adipati yang sedang marah itu.
Tak lama kemudian, hanya suara derap kaki Mego Lamat yang berlari congkalang yang memecah kesunyian gedung kadipaten itu mengiris perasaan dua orang istri yanag mencinta dan menghawatirkan suami mereka yang marah-marah itu. Pada waktu itu Sang Prabu sedang dihadap oleh para senopati dan punggawa. Semua penghadap terkejut sekali melihat Ronggo Lawe datang menghadap raja tanpa dipanggil dan Sang Prabu sendiri juga memandang dengan alis berkerut tanda tidak berkenan hatinya. Namun bagaimana pun Ronggo Lawe pernah menjadi tulang punggungnya, Sang Prabu ketidaksenangan hatinya dan segera menyapa Ronggo Lawe. Langsung saja dengan suara lantang adipati berkata, “Hamba sengaja datang menghadap paduka untuk mengingatkan paduka dari kekhilafan yang paduka lakukan di luar kesadaran paduka!” semua muka para penghadap itu pucat dan semua jantung berdebar tegang mendengar ucapan Ronggo Lawe kepada Sang Prabu. Mereka mengenal sifat dan watak Ronggo lawe yang tidak akan mundur setapak pun dalam membela hal yang dianggap benar. Dengan suara penuh perhatian, Sang Prabu menjawab, “Kakang Ronggo lawe, apakah maksudmu dengan ucapan itu?”
“Yang hamba maksudkan tidak lain adalah pengangkatan Nambi sebagai Pepatih paduka! Keputusan yang paduka ambil ini sungguh-sungguh tidak tepat, tidak bijaksana, dan hamba yakin bahwa paduka tentu telah terbujuk dan dipengaruhi oleh suara dari belakang! Pengangkatan Nambi sebagai patih Hamangkubumi sungguh merupakan kekeliruan yang sangat tidak tepat dan tidakadil, padahal paduka terkenal sebagai seorang maharaja yang arif, bijaksana, dan adil!”
Muka Patih Nambi sebentar pucat bagaikan mayat sebentar memerah, kedua tangannya dikepal dan dibuka dengan jari-jari gemetar. Setelah mendengar perkataannya yang hebat bukan masin seorang adipati, yang tanpa dipanggil, berani datang menghadap Sang Prabu dan melontarkan teguran-teguran seperti itu.
Akan tetapi, Sang Prabu Kertarajasa tetap tenang, bahkan tersenyum memandang kepada Ronggo Lawe. “Bagaimana kakang Ronggo Lawe dapat mengatakan bahwa pengangkatan tidak tepat dan tidak adil?” karena desakan amarah, Ronggo Lawe berkata lantang, “Tentu saja tidak tepat! Paduka sendiri tahu siapa si Nambi itu! Paduka tentu masih ingat akan segala sepak terjang dan tindak tanduknya dahulu! Dia seorang bodoh, lemah, rendah budi, penakut, sama sekali tidak akan memiliki wibawa.” Dengan hati yang mengembara Ronggo Lawe keluar langsung dari Gedung Kadipaten.
Bintang-bintar berjajar bulan purnama Ronggo Lawe tunduk termenung di depan rumahnya. Dewi Mergosari pun mendekatinya, “Camkan baik-baik kakangmas, pertimbangkan dengan kesadaran sebelum terlambat oleh perbuatan yang hanya terdorong oleh nafsu amarah yang membuta.” Ronggo lawe mengangguk-ngangguk mendengar nasihat istrinya itu. Dia telah terburu nafsu, terdorong oleh amarah yang kini betapa dia telah bersikap keterlaluan dan tidak terhormat di depan Sri Baginda. Dia harus memohon ampun kepada junjungannya itu.
Akan tetapi, Sang Prabu mempertimbangkan kembali atas ucapan Ronggo Lawe, karena akhir-akhir ini, gerak-gerik Senopati Nambi dan Dara Petak mencurigakan. Ketika malam sunyi Sang Prabu mendengar suara orang yang sedang berbicang di luar kamarnya . Sang Prabu pun mendekati suara itu. Ketika dia membuka sedikit jendelanya, ternyata yang berbincang tidak lain adalah istrinya dan Senopati Nambi. Setelah didengarkan dengan telinga tajam ternyata mereka bersekongkol untuk membunuh dirinya untuk menguasai kerajaan.
Ketika Raja Siang keluar dari ufuk timur, Sang Prabu memanggil semua istrinya dan paman dan kakang senopati dan semua pembantunya. Sang Prabu menjelaskan akal busuk istrinya dan senopati Nambi. Dara Petak dan senopati mukanya memucat bagaikan mayat dan tertunduk tidak menyangka perbuatan yang ingin dilakukannya diketahui oleh Sang Prabu. Di saat itu dengan kebetulan datanglah Ronggo Lawe yang berniat memohon ampun kepada Sang Prabu, tetapi sebelum Ronggo Lawe berbicara Sang Prabu berkata, “Ronggo Lawe terimakasih atas nasihat kakang waktu itu. Maafkan jika waktu itu saya tidak percaya padamu. Kebetulan sekarang kita sedang berkumpul saya sebagai Raja Majapahit ingin mengangkat Adipati Ronggo Lawe menjadi patih di kerajaan Majapahit.” Ronggo Lawe pun terkejut tetapi semua istri dan paman dan kakang senopati dan semua pembantunya setuju tentang pendapat Sang Prabu,
Akhirnya, karena Sang Prabu sangat baikdan bijaksana dia tidak menghukum Dara Petak dan Senopati Nambi, dia hanya mengusir merka untuk tidak pernah menginjakan kaki lagi ke Kerajaan Majapahit dan mengingatkan mereka untuk menjaga kepercayaan dan tidak berbuat jahat lagi. Keajaan Majapahit pun menjadi damai dan tentram dengan Ronggo Lawe menjadi patih di Kerajaan Majapahit.

No comments:

Post a Comment

contoh surat jual beli tanah

SURAT JUAL BELI MUTLAK TANAH SAWAH Yang bertanda tangan di bawah ini masing-masing bernama Odah, tempat di kampung  ......... Rt 02...