Kemelut di Majapahit
(Syifa Silfiani)
Raden
Wijaya berhasil menjadi Raja Majapahit pertama pada tanggal 15 bulan Kastika
tahun 1215 Saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293 yang bergelar Kertarajasa
Jayawardhana. Meskipun beliau telah menjadi raja, beliau tidak menjadi seorang
yang bagikan kacang lupa kulitnya. Dia mengangkat Ronggo Lawe menjadi Adipati
Tuban dan membagikan pangkat kepada para senopati (perwira) lain yang telah
setia dan banyak membantunya sejak perjuangan pertama sampai Raden Wijaya
menjadi raja.
Karena
Sang Prabu sangat bijaksana sampai-sampai dia menikahi empat orang putri
sekaligus yaitu putri dari mendiang Raja Kertanegara. Sang Prabu ibarat
mendapat durian runtuh saat itu menjadi raja dan mendapat rezeki menikahi empat
orang putri. Keempat orang putri itu adalah Dyah Tribunan yang menjadi
permaisuri, yang kedua ialah Dyah Nara Indraduhita, ketiga adalah Dyah Jaya
Indreradewi, dan juga yang disebut Retno Sutawan atau Rajapatni yang berari
“terkasih” karena memang putri bungsu dari mendiang Kertanegara menjadi istrii
yang paling dikasihinya, Dyah Gayatri yang bungsu ini memang cantik jelita
seperti seorang dewi kahyangan, terkenal di seluruh negeri dan kecantikannya
dipuja-puja oleh sastrawan di masa itu.
Akan
tetapi, ketika Raja Siang keluar dari ufuk timur datanglah pasukan yang
beberapa tahun lalu diutus oleh mendiang Sang Prabu Kertanegara ke Negeri
Melayu. Pasukan ini dinamakan pasukan Pamalayu yang dipimpin oleh seorang
senopati perkasa bernama Kebo Anabrang atau juga Mahira Anabrang, nama yang
diberikan oleh sang prabu mengingat akan tugasnya menyebrang (anabrang) ke
negeri Melayu. Tidak sia-sia mereka menyebrang ke negeri Melayu mereka
membuahkan hasil, mereka membawa dua orang putri bersaudara dari Negeri Melayu.
Putri yang kedua yaitu yang muda bernama Dara Petak. “Begitu cantik rupa Dara
Petak, bagaikan mekar pesonanya menyihir kumbang-kumbang lelaki di sekitarnya.
Sehingga hatiku terpikat olehnya dan ingin segera menikahinya.” Sang prabu yang
terus menatap Dara Petak. Maka diambilah Dyah Dara Petak menjadi isti yang
kelima.
Terjadilah
persaingan diantara para istri, Dara Petak menjadi saingan yang paling kuat
Dyah Gayatri, karena rupa Dara Petak ynag memang cantik jelita dan pandai
membawa diri. Mereka pun diam-diam bersaing dalam memperebutkan cinta kasih dan
perhatian Sri Baginda yang tentu saja akan mengangkat derajat dan kekuasaan
masing-masing. Sang Prabu kurang menyadari akan persaingan istri-istrinya, pengaruh
persaingan itu terasa benar oleh para senopati dan mulailah terjadi perpecahan
diam-diam diantara mereka sebagai pihak yang bercondong kepada Dyah gayatri
keturunan mendiang Sang Prabu Kertanegara, dan kepada Dara Petak keturunana
Melayu.
Tentu saja
Ronggo Lawe sebagai seorang yang amat setia sejak zaman prabu Kertanegara,
berpihak kepada Dyah Gayatri. Namun, karena segan kepada Sang Prabu Kertarajasa
yang bijaksana persaingan dan kebencian yang dilakukan secara diam-diam itu
tidak sampai menjalar menjadi permusuhan terbuka. Kiranya tidak ada terjadi
hal-hal yang lebih besar sebagai akibat dari masuknya Dara Petak kedalam
kehidupan Sang Prabu. Hati Ronggo Lawe terbakar karena pengangkatan
Hamangkubumi, yaitu patih kerajaan Majapahit . Dia diangkat oleh Sang Prabu
menjadi pembesar tertinggi dan paling berkuasa sesudah raja yaitu Senopati
Nambi.
Pengangkatan
ini memang dipengaruhi bujuk rayu Dara Petak. Ketika mendengar berita ini
Ronggo Lawe yang saat itu sedang makan yang dilayani oleh kedua istrinya yang setia
itu Dewi Mertorogo dan Tirtawati. Ronggo Lawe mendengar berita itu dari seorang
penyelidik yang datang menghadap pada waktu sang adipati sedang makan. Ronggo
Lawe marah bukan main. Nasinya yang sudah dikepalnya itu dibanting ke atas
lantai dan karena dalam kemarahan tadi, sang adipati menggunakan aji
kedigdayannya maka nasi sekepal itu amblas ke dalam lantai. Kemudian terdengar
bunyi berkerotakdan ujung meja diremasnya menjadi hancur.
“Kakangmas
adipati….harap paduka tenang….” Dewi Mertorogo menghibur suaminya. “Ingatlah
kakangmas adipati, sungguh merupakan hal yang kurang baik mengembalikan berkah
Ibu Pertiwi secara itu.” Tirtawati juga memperingatkan suaminya. Akan tetapi.
Adipati Ronggo Lawe bangkit berdiri, membiarkan kedua tangannya dicuci oleh kedua
orang istrinya yang berusaha menghiburnya. “Aku harus pergi sekarang juga!”
katanya. “Pengawal lekas suruh persiapkan si Mego Lamat di depan! Aku akan
berangkat ke Mojopahit sekarang juga!” Mego Lamat satu diantara kuda-kuda
kesayangan Adipati Ronggo Lawe. Seekor kuda yang amat indah dan kuat, warna
bulunya abu-abu muda. Kedua istrinya berusaha mencegah Ronggo Lawe tetapi
cegahan kedua istrinya sama sekali tidak
didengarkan oleh adipati yang sedang marah itu.
Tak lama
kemudian, hanya suara derap kaki Mego Lamat yang berlari congkalang yang
memecah kesunyian gedung kadipaten itu mengiris perasaan dua orang istri yanag
mencinta dan menghawatirkan suami mereka yang marah-marah itu. Pada waktu itu
Sang Prabu sedang dihadap oleh para senopati dan punggawa. Semua penghadap
terkejut sekali melihat Ronggo Lawe datang menghadap raja tanpa dipanggil dan
Sang Prabu sendiri juga memandang dengan alis berkerut tanda tidak berkenan
hatinya. Namun bagaimana pun Ronggo Lawe pernah menjadi tulang punggungnya,
Sang Prabu ketidaksenangan hatinya dan segera menyapa Ronggo Lawe. Langsung
saja dengan suara lantang adipati berkata, “Hamba sengaja datang menghadap
paduka untuk mengingatkan paduka dari kekhilafan yang paduka lakukan di luar
kesadaran paduka!” semua muka para penghadap itu pucat dan semua jantung
berdebar tegang mendengar ucapan Ronggo Lawe kepada Sang Prabu. Mereka mengenal
sifat dan watak Ronggo lawe yang tidak akan mundur setapak pun dalam membela
hal yang dianggap benar. Dengan suara penuh perhatian, Sang Prabu menjawab,
“Kakang Ronggo lawe, apakah maksudmu dengan ucapan itu?”
“Yang
hamba maksudkan tidak lain adalah pengangkatan Nambi sebagai Pepatih paduka!
Keputusan yang paduka ambil ini sungguh-sungguh tidak tepat, tidak bijaksana,
dan hamba yakin bahwa paduka tentu telah terbujuk dan dipengaruhi oleh suara
dari belakang! Pengangkatan Nambi sebagai patih Hamangkubumi sungguh merupakan
kekeliruan yang sangat tidak tepat dan tidakadil, padahal paduka terkenal
sebagai seorang maharaja yang arif, bijaksana, dan adil!”
Muka Patih
Nambi sebentar pucat bagaikan mayat sebentar memerah, kedua tangannya dikepal
dan dibuka dengan jari-jari gemetar. Setelah mendengar perkataannya yang hebat
bukan masin seorang adipati, yang tanpa dipanggil, berani datang menghadap Sang
Prabu dan melontarkan teguran-teguran seperti itu.
Akan
tetapi, Sang Prabu Kertarajasa tetap tenang, bahkan tersenyum memandang kepada
Ronggo Lawe. “Bagaimana kakang Ronggo Lawe dapat mengatakan bahwa pengangkatan
tidak tepat dan tidak adil?” karena desakan amarah, Ronggo Lawe berkata
lantang, “Tentu saja tidak tepat! Paduka sendiri tahu siapa si Nambi itu!
Paduka tentu masih ingat akan segala sepak terjang dan tindak tanduknya dahulu!
Dia seorang bodoh, lemah, rendah budi, penakut, sama sekali tidak akan memiliki
wibawa.” Dengan hati yang mengembara Ronggo Lawe keluar langsung dari Gedung
Kadipaten.
Bintang-bintar
berjajar bulan purnama Ronggo Lawe tunduk termenung di depan rumahnya. Dewi
Mergosari pun mendekatinya, “Camkan baik-baik kakangmas, pertimbangkan dengan
kesadaran sebelum terlambat oleh perbuatan yang hanya terdorong oleh nafsu
amarah yang membuta.” Ronggo lawe mengangguk-ngangguk mendengar nasihat
istrinya itu. Dia telah terburu nafsu, terdorong oleh amarah yang kini betapa
dia telah bersikap keterlaluan dan tidak terhormat di depan Sri Baginda. Dia
harus memohon ampun kepada junjungannya itu.
Akan
tetapi, Sang Prabu mempertimbangkan kembali atas ucapan Ronggo Lawe, karena
akhir-akhir ini, gerak-gerik Senopati Nambi dan Dara Petak mencurigakan. Ketika
malam sunyi Sang Prabu mendengar suara orang yang sedang berbicang di luar
kamarnya . Sang Prabu pun mendekati suara itu. Ketika dia membuka sedikit
jendelanya, ternyata yang berbincang tidak lain adalah istrinya dan Senopati
Nambi. Setelah didengarkan dengan telinga tajam ternyata mereka bersekongkol
untuk membunuh dirinya untuk menguasai kerajaan.
Ketika
Raja Siang keluar dari ufuk timur, Sang Prabu memanggil semua istrinya dan
paman dan kakang senopati dan semua pembantunya. Sang Prabu menjelaskan akal
busuk istrinya dan senopati Nambi. Dara Petak dan senopati mukanya memucat
bagaikan mayat dan tertunduk tidak menyangka perbuatan yang ingin dilakukannya
diketahui oleh Sang Prabu. Di saat itu dengan kebetulan datanglah Ronggo Lawe
yang berniat memohon ampun kepada Sang Prabu, tetapi sebelum Ronggo Lawe
berbicara Sang Prabu berkata, “Ronggo Lawe terimakasih atas nasihat kakang
waktu itu. Maafkan jika waktu itu saya tidak percaya padamu. Kebetulan sekarang
kita sedang berkumpul saya sebagai Raja Majapahit ingin mengangkat Adipati
Ronggo Lawe menjadi patih di kerajaan Majapahit.” Ronggo Lawe pun terkejut
tetapi semua istri dan paman dan kakang senopati dan semua pembantunya setuju
tentang pendapat Sang Prabu,
Akhirnya, karena Sang
Prabu sangat baikdan bijaksana dia tidak menghukum Dara Petak dan Senopati
Nambi, dia hanya mengusir merka untuk tidak pernah menginjakan kaki lagi ke
Kerajaan Majapahit dan mengingatkan mereka untuk menjaga kepercayaan dan tidak
berbuat jahat lagi. Keajaan Majapahit pun menjadi damai dan tentram dengan
Ronggo Lawe menjadi patih di Kerajaan Majapahit.
No comments:
Post a Comment