Kemelut di Majapahit
(Amelia Dewi)
Dikisahkan
sebuah kerajaan Majapahit, kala itu terkuak cerita cerita tentang pengangkatan
seorang raja baru di kerajaan Majapahit. Raja tersebut bernama Raden Wijaya.
Pengangkatan raja pertama tersebut diberi gelar Kertarajasa Jayawardhana. Sejak
saat itulah Raden Wijaya menjadi raja yang disegani oleh seluruh rakyat
Majapahit.
Dibalik
kesuksesan Raden Wijaya menjadi raja di Majapahit ternyata ada para senopati
(perwira) yang setia dan selalu membantunya. Raden Wijaya tidak bisa melupakan
jasa-jasa para senopati lalu ia mambagi-bagikan pangkat kepada mereka. Ronggo
Lawe salah seorang patih yang amatlah baik dan erat hubungannya dengan raja
diangkat menjadi Adipati Tuban.
Suasana
tentam dan damai mulai diguncangkan ketika Sang Prabu menikahi empat orang
putri mendiang Raja Kertanegara, tak berselang lama raja pun menikah lagi
dengan putri dari Melayu. Sebelum menikahi putri dari Melayu, beliau menikahi
empat orang putri mendiang Raja Kertanegara
karena beliau tidak ingin adanya dendam dan rebutan kekuasaan kelak.
Keempat putri itu adalah Dyah Tribunan, Dyah Nara Indraduhita, Dyah Jaya
Inderadewi, dan Retno Setawan atau Rajapatni yang paling dikasihinya. Raja
tidak puas dengan keempat istrinya itu, ia pun menikahi Dyah Dara Petak menjadi
isti kelimanya. Terjadilah persaingan diantara istri-istri raja terhadap Dyah
Dara Petak yang amat cantik jelita. Mereka berlomba-lomba mendapatkan perhatian
dan kasih sayang dari raja namun raja tidak menyadari persaingan diantara mereka,
karena dilakukan secara diam -diam.
Persaingan
istri-istri raja tidak seberapa hebat sebagai akibat di kehidupan Sang Prabu.
Ada hal yang membakar hati Ronggo Lawe yaitu pengangkatan Patih Hamangkubumi,
yaitu patih kerajaan Majapahit. Diangkat oleh Sang Prabu menjadi pembesar yang
tertinggi dan paling berkuasa setelah raja yaitu Senopati Nambi.
Mendengar
pengangkatan itu, marahlah Adipati Ronggi Lawe. Saat sedang makan beliau
langsung membantingkan nasi yang dikepalnya ke lantai yang disuguhkan oleh
kedua istri setianya yang amat menyayangi Ronggo Lawe.
Kemarahan
Ronggo Lawe membuat cemas kedua istrinya dan mencoba menenangkan, “Kakangmas
adipati, harap paduka tenang.” Dewi Mertorogo menghibur suaminya. Kemarahan
tersebut membuat Ronggo Lawe bergegas pergi untuk menghadap Prabu raden Wijaya
dengan menumpangi kuda kesayangannya yang dijuluki Mego Lamat.
Sesampainya
di kerajaan, Ronggo Lawe mengatakan kepada raja bahwa telah keliru atas
pengangkatan Nambi menjadi pembesar di kerajaan Majapahit. Semua yang ada
disana terkejut atas pernyataan yang dilontarkan oleh Ronggo Lawe kepada Prabu.
Namun dengan lembut dan berwibawanya Raden Wijaya menanggapi dengan tenang dan
senyuman.
Ronggo
Lawe terus saja mengatakan perkataan yang amat sangat menyinggung “Nambi lemah,
bodoh, rendah budi, penakut, tak pantas Nambi menjadi pembesar di kerajaan.”
Setelah
mendengarkan ucapan ynag dilontarkan Ronggo Lawe raja Raden Wijaya pun berucap,
“Kakang Ronggo Lawe, tindakanku mengangkat kakang Nambi sebagai Patih
Hamangkubumi, bukanlah tindakan ngawur melainkan sudah dipertimbangkan
masak-masak bahkan telah mendapatkan persetujuan dari semua paman dan kakang
senopati dan semua pembantuku.”
Dengan
muka merah Ronggo Lawe pun berkata dengan lantangnya, “Tetap saja pengangkatan
ini tidak tepat.”
Akhirnya
dengan segala upaya yang diucapkan raja untuk menenangkan Ronggo Lawe. Ia pun
memahami dengan beku hatinya. Dan hubungan yang tadinya erat sebab antara
Ronggo Lawe dan raja Raden Wijaya merenggang atau putus tali persaudaraan
diantara mereka.
Namun
setelah beberapa lama kebusukan Nambi dan Dara Petak tercium oleh raja.
Akhirnya Nambi dan Dara Petak diusir dari kerajaan, Lalu Ronggo Lawe diangkat
menjdi pembesar kerajaan Majapahit.
No comments:
Post a Comment