Friday 5 October 2018

Nama               : Linda Lugina
Kelas               : XII IPS 3

Kemelut di Majapahit

Raden Wijaya bermimpi ingin menjadi Raja Majapahit kemudian berusaha dengan letih untuk mewujudkan cita-citanya. Akan tetapi perjuangannya tidak sangatlah mudah, kemudian Raden Wijaya dibantu oleh para senopati (perwira) hari demi hari Raden Wijaya berhasil melewati rintangan yang dialaminya.
Setelah itu, Raden Wijaya berhasil menjadi Raja Majapahit pertama yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana, namun beliau tidak pernah melupakan para senopati (perwira) karena mereka telah setia dan banyak membantu untuk mewujudkan cita-citanya Raden Wijaya. Atas ucapan terima kasihnya beliau memberikan pangkat kepada mereka. Ronggo Lawe diangkat menjadi Adipati di Tuban dan hubungan mereka menjadi sangatlah erat dan baik.
Akan tetapi, kerajayaan Majapahit mengalami guncangan yang pertama sehingga memengaruhi hubungan mereka menjadi tidak baik yang disebabkan oleh sang prabu menikah dengan empat putri mendiang Raja Kartanegara, setelah itu sang prabu menikah lagi dengan seorang putri dari Melayu. Sebelum putri Melayu menjadi istri kelima, sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana telah menikahi semua putri mendiang Raja Kertanagara. Hal ini bertujuan agar beliau tidak menghendaki adanya dendam dan perebutan kekuasaan.
Nama keempat putri itu adalah Dyah Tribuan yang menjadi permaisuri, yang kedua Dyah Nara Indradhuhita, yang ketiga adalah Dyah Jaya Inderadewi, dan putri yang paling bungsu adalah Retno Sutawan atau Rajapatni putri yang paling dikasihinya. Dyah Gayatri ini putri yang paling bungsu yang sangatlah cantik jelita seperti seorang dewi yang turun dari kahyangan, kecantikkannyapun sangatlah terkenal dan dipuja-puja oleh para sastrawan dimasa itu. Akan tetapi, datanglah pasukan yang diutus oleh prabu Kartanagara ke negeri Malayu. Pasukan ini dinamakan pamalayu yang dipimpin oleh Anabrang, nama yang diberikan oleh sang prabu karena dia bertugas sebagai penyebrang (Anabrang) ke negeri Malayu. Pasukan ekspedisi yang berhasil membawa dua orang putri bersaudara. Putri yang kedua paling muda bernama Dara Petak, sang Prabu Kartarajasa terpikat hatinya oleh kecantikan Dara Petak, maka dipinanglah Dyah Dara Petak untuk dijadikan istri kelima, kemudian pernikahan itu menimbulkan persaingan kuat antara Dyah Gayatri dan Dyah Petak, karena Dyah Petak memang sangatlah cantik jelita dan pandai membawa diri. Sang Prabu sangat mencintai istri termuda itu yang diperistri oleh sang Baginda diberi nama Sri Indraswari.
Kejadian itu menimbulkan persaingan diantara para istri, yang dilakukan secara diam-diam dan semakin memanas, persaingan dalam memperebutkan cinta kasih dan perhatian Sri Baginda yang tentu saja akan mengangkat derajat dan kekuasaan masing-masing. Sang Prabu kurang menyadari persaingan ini. Pengaruh persaingan itu terasa benar oleh para senopati dan mulailah terjadi perpecahan diantara mereka, sebagian pihak mendukung Dyah Gayatri keturunan mendiang Sang Prabu Kartanegara, dan kepada Dara Petak keturunan Malayu.
Ronggo Lawe sebagai seorang yang setia sejak zaman Prabu Kartanegara berpihak kepada Dyah Gayatri. Namun karena segan kepada sang Prabu Kertarajasa yang bijaksana, persaingan dan kebencian yang dilakukan secara diam-diam itu tidak menjalar menjadi permusuhan terbuka. Masuknya Dara Petak ke dalam kehidupan sang Prabu adalah panasnya hati Ronggo Lawe, yaitu pengangkatan patih Hamangkubumi, yaitu patih kerajaan Majapahit yang diangkat oleh sang Prabu menjadi pembesar yang tertinggi dan paling berkuasa sesudah raja yaitu senopati Nambi.
Pengangkatan ini memang banyak terpengaruh oleh bujukan Dara Petak. Pengangkatan tersebut pun sampai di telinga Adipati Ronggo Lawe ketika sedang makan, yaitu seperti biasa dilayani oleh dua orang istri yang setia, yaitu Dewi Mertorogo dan Tirtowati. Mendengar berita itu Ronggo Lawe marah besar. Nasi yang dikepalnya dibanting ke lantai karena dalam kemarahan sang adipati menggunakan kekuatannya, maka nasi sekepal itu amblas ke dalam lantai. Kemudian ujung meja itu dihancurkan oleh Ronggo Lawe.
“Kakangmas adipati…..harap paduka tenang…” Dewi Mertorogo menghibur suaminya. “Ingatlah, kakangmas adipati sungguh merupakan hal yang kurang baik mengembalikan berkah Ibu Pertiwi seperti itu….” Tirtowati juga memperingati karena melempar nasi ke atas lantai seperti itu penghinaan terhadap Dewi Sri dan dapat menjadi kualat. Akan tetapi, Adipati Ronggo Lawe bangkit berdiri, membiarkan kedua tangannya dicuci oleh kedua istrinya yang berusaha menghiburnya. “Aku harus pergi sekarang juga!” kata Ronggo Lawe. “Pengawal lekas suruh persiapkan si Mego Lamat di depan! Aku akan berangkat ke Majapahit sekarang juga!” Mego Lamat adalah satu diantara kuda-kuda kesayangan Adipati Ronggo Lawe, seekor kuda yang amat Indah dan kuat, warna bulunya abu-abu muda. Semua cegahan kedua istrinya sama sekali tidak didengarkan oleh adipati yang sedang marah.
Tak lama kemudian, hanya suara derap kaki Mego Lamat yang berlari congkalang yang memecah kesunyian gedung kadipaten itu, mengiris perasaan dua orang istri yang mencintai dan mengkhawatirkan keselamatan Ronggo Lawe yang sedang marah. Pada waktu itu, sang Prabu sedang dihadap oleh para senipati dan punggawa. Semua penghadap adalah kawan-kawan seperjuangan Ronggo Lawe dan mereka sangat terkejut melihat Ronggo Lawe datang menghadap raja tanpa dipanggil, padahal sudah lama Adipati Tuban ini tidak datang menghadap Sri Baginda. Sang Prabu sendiri juga memandang dengan alis berkerut tanda tidak berkenan hatinya dan segera menyapa Ronggo Lawe. Di dalam kemarahan dan kekecewaan, Adipati Ronggo Lawe masih ingat untuk mengucapkan salamnya, tetapi setelah semua salam tata susila ini selesai, serta merta Ronggo Lawe menyembah dan berkata dengan suara lantang, “Hamba sengaja datang menghadap paduka untuk mengingatkan paduka dari kekhilafan yang paduka lakukan diluar kesadaran paduka!” Semua muka para penghadap raja menjadi pucat mendengan ucapan ini, dan semua jantung di dalam dada berdebar tegang. Mereka semua mengenal belaka sifat dan watak Ronggo Lawe, banteng Mojopahit yang gagah perkasa dan selalu terbuka, polos, jujur, dalam mengemukakan suara hatinya, tidak akan mundur setapak pun dalam membela hal yang dianggap benar. Sang Prabu memandang dengan mata penuh perhatian, kemudian dengan suara tenang bertanya, “Kakang Ronggo Lawe, apa maksudmu dengan ucapan itu?”
“Yang hamba maksudkan tidak lain adalah pengangkatan Nambi sebagai Pepatih Paduka! Keputusan yang paduka ambil ini sungguh-sungguh tidak tepat, tidak bijaksana dan hamba yakin bahwa paduka tentu telah terbujuk dan dipengaruhi oleh suara dari belakang! Pengangkatan Nambi sebagai patih hamangkubumi sungguh merupakan kekeliruan yang besar, tidak tepat dan tidak adil, padahal paduka terkenal sebagai seorang maharaja yang arif bijaksana dan adil!”
Hebat bukan main ucapan Ronggo Lawe! Seorang adipati tanpa dipanggil, berani datang menghadap sang prabu dan melontarkan teguran-teguran! Muka Patih Nambi pucat dan memerah, kedua tangannya dikepal dan dibuka dengan jari-jari gemetar. Senopati Anabrang mukanya memerah seperti udang rebus, matanya yang lebar itu seperti mengeluarkan api ketika dia melihat ke arah Ronggo Lawe. Lembu Sora yang sudah tua itu mukanya menjadi pucat, tak mengira bahwa keponakannya itu akan seberani itu. Senopati-senopati galak Sarkono dan Mayang Mekar memandang dengan mata yang tajam. Pendeknya, semua senopati dan pembesar yang saat itu menghadap sang prabu dan mendengan ucapan-ucapan Ronggo Lawe, semua terkejut dan sebagian besar marah sekali, tetapi mereka tidak berani mencampuri karena mereka menghormati sang prabu. Akan tetapi, Sang Prabu Kertarajasa tetap tenang, bahkan tersenyum memandang kepada Ronggo Lawe, ponggawanya yang dia tahu amat setia kepadanya itu, lalu berkata halus, “Kakang Ronggo Lawe, tindakanku mengangkat Kakang Nambi sebagai patih hamangkubumi, bukanlah merupakan tindakan ngawur belaka, melainkan merupakan suatu keputusan yang telah dipertimbangkan matang-matang, bahkan telah mendapatkan persetujuan dari semua paman dan kakang senopati dan semua pembantuku. Bagaimana kakang Ronggo Lawe dapat mengatakan bahwa pengangkatan itu tidak tepat dan tidak adil?” Dengan muka merah, kumisnya yang seperti kumis sang Gatotkaca itu bergetar, napas memburu karena desakan amarah, Ronggo Lawe berkata lantang. “Tentu saja tidak tepat! Paduka sendiri tahu siapa si Nambi itu Paduka tentu masih ingat akan segala sepakterjang dan tindak-tanduknya dahulu! Dia seseorang yang bodoh, lemah, rendah budi, penakut, sama sekali tidak memiliki wibawa….”
Semenjak Sang Prabu mengetahui Kakang Nambi bekerjasama dengan Dara Petak, Sang Prabu Kertarajasa merasa kecewa dan merasa dikhianati, kemudian kaknng Nambi saat pemelihan patih akakang Nambi pun dihukum penjara dan pengangkatan patih hamengkubumi digantikan oleh Ronggo Lawe.
Dan setelah pengangkatan patih hamangkubumi tersebut diganti oleh Ronggo Lawe, kehidupan di kerajaan Majapahit pun menjadi aman, tentram, damai dan makmur.









No comments:

Post a Comment

contoh surat jual beli tanah

SURAT JUAL BELI MUTLAK TANAH SAWAH Yang bertanda tangan di bawah ini masing-masing bernama Odah, tempat di kampung  ......... Rt 02...