Kemelut di Majapahit
Raden Wijaya bermimpi
ingin menjadi Raja Majapahit kemudian berusaha dengan letih untuk mewujudkan
cita-citanya. Akan tetapi perjuangannya tidak sangatlah mudah, kemudian Raden
Wijaya dibantu oleh para senopati (perwira) hari demi hari Raden Wijaya
berhasil melewati rintangan yang dialaminya.
Pada tahun 1293 abad ke
4 Masehi, Raden Wijaya berhasil menjadi Raja Majapahit pertama yang bergelar
Kertarajasa Jayawardhana, namun beliau tidak pernah melupakan jasa para
senopati (perwira) karena mereka telah setia dan banyak membantu untuk
mewujudkan cita-citanya. Sebagai ucapan terima kasihnya beliau memberikan
pangkat kepada mereka. Ronggo Lawe diangkat menjadi Adipati di Tuban dan
hubungan mereka menjadi sangatlah erat dan baik.
Akan tetapi, kerajayaan
Majapahit mengalami guncangan yang pertama sehingga memengaruhi hubungan mereka
menjadi tidak baik yang disebabkan karena sang prabu menikah dengan seorang
putri dari Melayu. Sebelum putri Melayu menjadi istri kelima, Sang Prabu
Kertarajasa Jayawardhana telah menikahi empat orang putri mendiang Raja
Kertanegara, hal ini bertujuan agar tidak adanya dendam dan perebutan
kekuasaan.
Nama keempat putri itu
adalah Dyah Tribunan yang menjadi permaisuri, yang kedua Dyah Nara
Indradhuhita, yang ketiga adalah Dyah Jaya Inderadewi, dan putri yang paling
bungsu adalah Retno Sutawan atau Rajapatni putri yang paling dikasihinya. Dyah
Gayatri ini putri yang paling bungsu yang sangatlah cantik jelita seperti
seorang dewi yang turun dari kahyangan, kecantikkannyapun sangatlah terkenal
dan dipuja-puja oleh para sastrawan dimasa itu. Akan tetapi, datanglah pasukan
yang diutus oleh prabu Kartanagara ke negeri Malayu. Pasukan ini dinamakan
pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang atau Mahisa Anabrang, nama yang diberikan
oleh sang prabu karena dia bertugas sebagai penyebrang (Anabrang) ke negeri
Malayu. Pasukan ekspedisi yang berhasil membawa dua orang putri bersaudara.
Putri yang kedua paling muda bernama Dara Petak, sang Prabu Kartarajasa
terpikat hatinya oleh kecantikan Dara Petak, maka dipinanglah Dara Petak untuk
dijadikan istri kelima, kemudian pernikahan itu menimbulkan persaingan kuat
antara Dyah Gayatri dan Dyah Petak, karena Dyah Petak memang sangatlah cantik
jelita dan pandai membawa diri. Sang Prabu sangat mencintai istri termuda itu kemudian
diberi nama Sri Indraswari.
Kejadian itu
menimbulkan persaingan diantara para istri, yang dilakukan secara diam-diam dan
semakin memanas, persaingan dalam memperebutkan cinta kasih dan perhatian Sri
Baginda yang tentu saja akan mengangkat derajat dan kekuasaan masing-masing.
Sang Prabu kurang menyadari persaingan ini. Pengaruh persaingan itu terasa
benar oleh para senopati dan mulailah terjadi perpecahan diantara mereka,
sebagian pihak mendukung Dyah Gayatri keturunan mendiang Sang Prabu
Kartanegara, dan kepada Dara Petak keturunan Malayu.
Ronggo Lawe sebagai
seorang yang setia sejak zaman Prabu Kartanegara berpihak kepada Dyah Gayatri.
Namun karena segan kepada sang Prabu Kertarajasa yang bijaksana, persaingan dan
kebencian yang dilakukan secara diam-diam itu tidak menjalar menjadi permusuhan
terbuka. Masuknya Dara Petak ke dalam kehidupan sang Prabu menyulut panasnya
hati Ronggo Lawe, yaitu pengangkatan Senopati Nambi sebagai patih Hamangkubumi,
patih kerajaan Majapahit yang menjadi pembesar yang tertinggi dan paling
berkuasa sesudah raja.
Pengangkatan ini memang
banyak terpengaruh oleh bujukan Dara Petak. Pengangkatan tersebut pun sampai di
telinga Adipati Ronggo Lawe ketika sedang makan, yaitu seperti biasa dilayani
oleh dua orang istri yang setia, yaitu Dewi Mertorogo dan Tirtowati. Mendengar
berita itu Ronggo Lawe marah besar. Nasi yang dikepalnya dibanting ke lantai
karena dalam kemarahan sang adipati menggunakan aji kadigjayaan, maka nasi
sekepal itu amblas ke dalam lantai. Kemudian ujung meja itu diremas sampai hancur
oleh Ronggo Lawe.
“Kakangmas
adipati…..harap paduka tenang…” Dewi Mertorogo menghibur suaminya. “Ingatlah,
kakangmas adipati sungguh merupakan hal yang kurang baik mengembalikan berkah
Ibu Pertiwi seperti itu….” Tirtowati juga memperingati karena melempar nasi ke
atas lantai seperti itu penghinaan terhadap Dewi Sri dan dapat menjadi kualat.
Akan tetapi, Adipati Ronggo Lawe bangkit berdiri, membiarkan kedua tangannya
dicuci oleh kedua istrinya yang berusaha menghiburnya. “Aku harus pergi
sekarang juga!” kata Ronggo Lawe. “Pengawal lekas suruh persiapkan si Mego
Lamat di depan! Aku akan berangkat ke Majapahit sekarang juga!” Mego Lamat
adalah satu diantara kuda-kuda kesayangan Adipati Ronggo Lawe, seekor kuda yang
amat Indah dan kuat, warna bulunya abu-abu muda. Semua cegahan kedua istrinya
sama sekali tidak didengarkan oleh adipati yang sedang marah.
Tak lama kemudian,
hanya suara derap kaki Mego Lamat yang berlari congkalang yang memecah
kesunyian gedung kadipaten itu, mengiris perasaan dua orang istri yang
mencintai dan mengkhawatirkan keselamatan Ronggo Lawe yang sedang marah. Pada
waktu itu, sang Prabu sedang dihadap oleh para senipati dan punggawa. Semua
penghadap adalah kawan-kawan seperjuangan Ronggo Lawe dan mereka sangat
terkejut melihat Ronggo Lawe datang menghadap raja tanpa dipanggil, padahal
sudah lama Adipati Tuban ini tidak datang menghadap Sri Baginda. Sang Prabu
sendiri juga memandang dengan alis berkerut tanda tidak berkenan hatinya dan segera
menyapa Ronggo Lawe. Di dalam kemarahan dan kekecewaan, Adipati Ronggo Lawe
masih ingat untuk mengucapkan salamnya, tetapi setelah semua salam tata susila
ini selesai, serta merta Ronggo Lawe menyembah dan berkata dengan suara
lantang, “Hamba sengaja datang menghadap paduka untuk mengingatkan paduka dari
kekhilafan yang paduka lakukan diluar kesadaran paduka!” Semua muka para
penghadap raja menjadi pucat mendengan ucapan ini, dan semua jantung di dalam
dada berdebar tegang. Mereka semua mengenal belaka sifat dan watak Ronggo Lawe,
banteng Mojopahit yang gagah perkasa dan selalu terbuka, polos, jujur, dalam
mengemukakan suara hatinya, tidak akan mundur setapak pun dalam membela hal
yang dianggap benar. Sang Prabu memandang dengan mata penuh perhatian, kemudian
dengan suara tenang bertanya, “Kakang Ronggo Lawe, apa maksudmu dengan ucapan
itu?”
“Yang hamba maksudkan
tidak lain adalah pengangkatan Nambi sebagai Pepatih Paduka! Keputusan yang
paduka ambil ini sungguh-sungguh tidak tepat, tidak bijaksana dan hamba yakin
bahwa paduka tentu telah terbujuk dan dipengaruhi oleh suara dari belakang!
Pengangkatan Nambi sebagai patih hamangkubumi sungguh merupakan kekeliruan yang
besar, tidak tepat dan tidak adil, padahal paduka terkenal sebagai seorang
maharaja yang arif bijaksana dan adil!”
Hebat bukan main ucapan
Ronggo Lawe! Seorang adipati tanpa dipanggil, berani datang menghadap sang
prabu dan melontarkan teguran-teguran! Muka Patih Nambi pucat dan memerah,
kedua tangannya dikepal dan dibuka dengan jari-jari gemetar. Senopati Anabrang
mukanya memerah seperti udang rebus, matanya yang lebar itu seperti
mengeluarkan api ketika dia melihat ke arah Ronggo Lawe. Lembu Sora yang sudah
tua itu mukanya menjadi pucat, tak mengira bahwa keponakannya itu akan seberani
itu. Senopati-senopati galak Sarkono dan Mayang Mekar memandang dengan mata
yang tajam. Pendeknya, semua senopati dan pembesar yang saat itu menghadap sang
prabu dan mendengan ucapan-ucapan Ronggo Lawe, semua terkejut dan sebagian
besar marah sekali, tetapi mereka tidak berani mencampuri karena mereka
menghormati sang prabu. Akan tetapi, Sang Prabu Kertarajasa tetap tenang,
bahkan tersenyum memandang kepada Ronggo Lawe, ponggawanya yang dia tahu amat
setia kepadanya itu, lalu berkata halus, “Kakang Ronggo Lawe, tindakanku
mengangkat Kakang Nambi sebagai patih hamangkubumi, bukanlah merupakan tindakan
ngawur belaka, melainkan merupakan suatu keputusan yang telah dipertimbangkan
matang-matang, bahkan telah mendapatkan persetujuan dari semua paman dan kakang
senopati dan semua pembantuku. Bagaimana kakang Ronggo Lawe dapat mengatakan
bahwa pengangkatan itu tidak tepat dan tidak adil?” Dengan muka merah, kumisnya
yang seperti kumis sang Gatotkaca itu bergetar, napas memburu karena desakan
amarah, Ronggo Lawe berkata lantang. “Tentu saja tidak tepat! Paduka sendiri
tahu siapa si Nambi itu Paduka tentu masih ingat akan segala sepakterjang dan
tindak-tanduknya dahulu! Dia seseorang yang bodoh, lemah, rendah budi, penakut,
sama sekali tidak memiliki wibawa….”
Semenjak Sang Prabu
mengetahui Kakang Nambi bekerjasama dengan Dara Petak, Sang Prabu Kertarajasa
merasa kecewa dan merasa dikhianati, kemudian kaknng Nambi saat pemelihan patih
akakang Nambi pun dihukum penjara dan pengangkatan patih hamengkubumi
digantikan oleh Ronggo Lawe.
Dan setelah
pengangkatan patih hamangkubumi tersebut diganti oleh Ronggo Lawe, kehidupan di
kerajaan Majapahit pun menjadi aman, tentram, damai dan makmur.
No comments:
Post a Comment